Minggu, 31 Januari 2010

Cerita Manchester United di Indonesia

MANCHESTER United ternyata pernah tampil di Jakarta pada 1975. Saat itu, United memilih Indonesia sebagai salah satu tujuan dalam rangkaian tur ke Asia. Maka, digelarlah pertandingan segitiga antara United, Indonesia, dan Ajax Amsterdam di Stadion Utama Senayan.

Duel United melawan Indonesia digelar 1 Juni 1975. Skuad Merah Putih kala itu dibesut oleh pe­latih Wiel Coerver. Pria asal Belanda itu punya reputasi mentereng. Pada musim 1973/1974, dia sukses mengantarkan Feyenoord menjadi tim Belanda pertama yang meraih gelar Piala UEFA.

Didampingi asisten pelatih, Wim Hendriks, Coerver diharapkan membawa Indonesia lolos ke pu­taran final Piala Dunia 1978 di Argentina. Nah, laga melawan United dan Ajax adalah ajang pe­manasan sebelum Pra Olimpiade 1976 melawan Korea Utara (Korut).

Mantan kiper nasional, Ronny Pasla tidak punya kenangan banyak saat bertemu Manchester United pada 1975 lalu. Namun, Ronny masih ingat bagaimana harus berjibaku menghalau serangan yang dilakukan oleh Setan Merah saat itu.Ronny mengaku tidak mengingat secara rinci pertandingan yang dijalaninya saat bertemu MU. Hanya ada beberapa nama yang masih terekam di ingatan pria berusia 63 tahun itu.

“Saat itu MU masih dihuni oleh pemain-pemain dari Wales, Skotlandia dan Irlandia. Ada nama-nama seperti Tommy Docherty, Steve James, Gerry Dally, Sammy McIlroy dan Jim Holten,” kata Ronny. Menurut Ronny, pertarungan yang berakhir dengan skor 0-0 itu berlangsung cukup ketat. MU tampil dengan pola permainan kick and rush dan banyak mengandalkan umpan-umpan crossing. “Saya masih ingat, untuk mematahkan serangan MU saya harus memotong banyak umpan crossing,” kata Ronny yang saat itu tampil dua babak penuh. Indonesia sendiri tampil dengan formasi idealnya 4-3-3.

Striker Wastiso yang dikenal sebagai “rocket from Asia” menjadi andalan timnas di lini depan. Sedangkan di tengah, Indonesia mengandalkan trio gelandang, Anjas Asmara, Nobon Kamayudin dan Sutan Harahara. “Pertarungan saat itu berjalan ketat. Pertahanan mereka juga cukup kokoh dan kami juga gagal mencetak gol,” kata Ronny. Sering Bertemu Tim Besar Wajar bila Ronny tidak menyimpan banyak memori saat bertemu MU. Pasalnya, MU bukan satu-satunya tim besar yang pernah dihadapinya bersama timnas. Di era 1970an, sederet tim seperti Sao Paolo Brasil, Dinamo Kiev (Rusia, kini Ukraina), Benfica Portugal dan Atletico Madrid sudah pernah dijajalnya.

Kisah pada kala itu, "MU ternyata mengecewakan pengurus PSSI maupun masyarakat penggemar sepakbola sejak mendarat di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, sehari sebelum pertandingan."Mereka tidak datang dengan seluruh pemain intinya seperti yang telah dijanjikan kepada PSSI. Rombongan mereka hanya 14 orang, terdiri atas 12 pemain, seorang pelatih, dan seorang manajer."

MU menerima bayaran $25.000 untuk dua pertandingan, angka yang lebih kecil dibanding tawaran dari Manchaster City untuk satu pertandingan, sehingga ditolak oleh PSSI.

"MU bermain ala kadarnya, asal tidak kebobolan. Ketika terjadi pergantian pemain pada babak kedua, yang masuk sebagai pengganti adalah pemain nomor 15 bertubuh gendut bernama Tommy Docherty, yang tidak lain adalah sang manajer!The Doc" di hadapan 70.000 penonton yang memadati Stadion Senayan adalah untuk mengganggu pergerakan trio penyerang Indonesia, yaitu Waskito, Risdianto, dan Andi Lala.

"Tak heran, hanya dalam lima menit Docherty terkena kartu kuning dari wasit Kosasih Kartadireja. Ujungnya, pertandingan berakhir tanpa gol karena gawang Ronny Pasla juga jarang dihajar tembakan penyerang MU," . Selanjutnya pada 5 Juni, Ajax dipastikan menjuarai turnamen ini dengan kemenangan 4-1 atas PSSI Tamtama. Satu-satunya gol Indonesia dicetak oleh Waskito.

Susunan Skuad

PSSI Tamtama: Ronny Paslah, Sutan Harhara, Oyong Liza, Suaib Rizal, Iim Ibrahim, Anjas Asmara, Nobon, Waskito, Junaedi Abdillah, Risdianto, Andi Lala.

Manchester United: Alex Stepney, Alex Forsyth, Arthur Albiston, Gerry Daly, Jimmy Nicholl, Jim McCalliog, Trevor Anderson, Sammy McIlroy, Stuart Pearson, David McCreery, Anthony Young.


Hasil pertandingan lainnya: Ajax Amsterdam vs Manchester United 3-2 (Selasa, 3 Juni 1975) dan Ajax Amsterdam vs Indonesia 4-1 (Kamis, 5 Juni 1975).

Bayaran yang diterima Ajax dirahasiakan PSSI karena mahal sekali. Maklum, ketika itu Ajax bertebaran bintang yang digemari penggila global yang memperkuat Belanda di final Piala Dunia 1974 di Jerman Barat. Sebut saja dua benteng tim ”total football” itu, Wim Suurbier dan Ruud Krol, serta gelandang Johnny Rep. Belum lagi pemain-pemain tenar yang keluar-masuk timnas, seperti Barry Hulshoff, si kembar Arnold/Gerrie Muhren, Horst Blankenburg, dan kiper Piet Schrijvers.

Seperti diperkirakan, Ajax menjuarai turnamen segitiga di Gelora Bung Karno (GBK) setelah menaklukkan MU 3-2 dan PSSI Tamtama 4-1. Penampilan PSSI Tamtama lumayan, bermain imbang tanpa gol melawan MU 0-0 lewat pertandingan yang cepat dan menarik. PSSI Tamtama saat itu dalam masa peralihan dan dilatih AE Mangindaan-Endang Witarsa yang merupakan cikal bakal timnas PSSI Pra-Olimpiade 1976 yang diasuh Wiel Coerver.

Hasil klasemen :

1.
Ajax Amsterdam (Belanda)
2
2
0
0
7-3
4
2.
2
0
1
1
2-3
1
3.
Indonesia
2
0
1
1
1-4
1



Bert Pintury Berbagi Ilmu

Di hari yang cerah uluhan anak berusia 10 tahun asyik memainkan bola di Stadion Siliwangi tanpa peduli terik matahari. Mereka berlatih menendang dan menggiring bola ditimpali canda dan senda gurau. Dari tepi lapangan sering terdengar derai tawa khas anak-anak.

Di antara mereka, berdiri pria kurus berusia 61 tahun dengan kulit berwarna coklat gelap, muka bercambang dipenuhi kerutan, dan rambut yang beruban. Dengan suara keras, dia telaten memberi arahan mengenai cara mengolah bola.

Pria itu adalah Bert Pintury, pelatih sepak bola yang dikirim Koninklijke Nederlandse Voetbalbond (KNVB), atau PSSI-nya Belanda. Digandeng Sekolah Sepak Bola (SSB) Saint Prima, dia mengadakan pelatihan sepak bola untuk anak berusia 7-12 tahun selama beberapa hari.


Bertutur dengan bahasa Indonesia yang lancar, Bert berbagi ilmu soal filosofi pendidikan sepak bola untuk anak ala Belanda, yakni belajar sepak bola sambil bermain bola. Artinya, biarkan anak bermain sepuasnya tanpa takut salah untuk menumbuhkan kecintaan. Baru, pada usia 12 tahun anak mulai diperkenalkan dengan permainan sepak bola.

"Kalau sejak awal sudah dikatakan salah oleh pelatih, anak tersebut justru takut dan sulit berkembang," ujar Bert. Saat mengajar, tidak ada metode khusus ataupun biaya mahal. Yang dibutuhkan hanya pelatih yang bisa berkomunikasi, berbicara dengan bahasa sederhana hingga dimengerti anak, dan mengerti psikologi anak.

Dia pun mencontohkan formasi yang paling mudah diajarkan, yaitu 4-3-3. Dengan formasi itu, anak lebih gampang belajar mengenai posisi dalam sebuah tim. Dengan demikian, semua bisa belajar bersama.

Mengenai penjaringan pemain berbakat, Bert mengungkapkan, pencarian bakat sebaiknya dilakukan hingga tingkat distrik. Hal itu lebih mudah dilakukan di Belanda karena wilayah daratannya hanya seluas 33.883 kilometer persegi atau kurang dari seperempat Pulau Jawa.

Filosofi seperti itu menjadi akar pembinaan sepak bola di Belanda dan menempatkan "Negara Kincir Angin" itu di peringkat ketiga dunia di bawah Spanyol dan Brasil serta pernah menjadi jawara di daratan Eropa. "Itu saja buktinya," ujar Bert singkat. Sederhana saja memang. Bagaimana PSSI?Capek deh kalo musti ngajarin organisasi ini terus.

Resep dari Australia & Jepang

Apa yang membuat Australia dan Jepang begitu perkasa dia ajang sepakbola Junior khusunya di kawasan Asia ? Bagi Australia, materi pemain adalah salah satu faktornya.

Pelatih tim nasional Australia U-19, Jan Versleijen, tanpa ragu menyebut pemain-pemain nya sebagai ”produk kompetisi”. ”Absolutely. Mereka hasil tempaan kompetisi,” kata Versleijen.

”Kompetisi selalu memberi tantangan bagi pemain. Tantangan untuk selalu mengasah kemampuan bermain bola,” lanjut pelatih asli Belanda itu. Ia lalu memaparkan soal Liga Remaja Nasional (A-League National Youth League) dengan sembilan klub dan bergulir nasional.

Kompetisi itu diikuti tim yunior klub-klub Liga Australia, berkekuatan sekitar 14 pemain berusia 16-21 tahun. ”Mereka bertanding setiap akhir pekan dan bisa diperkuat empat pemain senior. Begitulah mereka ditempa,” lanjut Versleijen.

Dengan materi pemain yang terasah di kompetisi itu, Versleijen tidak membutuhkan waktu lama untuk membentuk tim. Ia menyebut hanya sekitar dua pekan. Hasilnya, seperti kita lihat, Australia sering menyikat tim-tim asia lain dengan skor besar.

Kompetisi ajang seleksi

Bagaimana dengan Jepang? Jawaban senada dikatakan Manajer Tim Jepang Soeda Mitsuhiro. ia menjelaskan, para pemain Jepang direkrut dari tim yunior klub-klub Liga Jepang.

”Tim-tim yunior itu juga bertanding dalam kompetisi, seperti yang dilakukan tim senior,” ujar Mitsuhiro. Dengan sistem kompetisi yang tertata rapi, pelatih tinggal mengamati, menyeleksi pemain tampil terbaik, dan meramunya dalam satu tim.

Mitsuhiro menjelaskan, timnya dibentuk sejak Januari lalu dan hanya menggelar sembilan kali ”kumpul” di pelatnas, enam kali di Jepang, dua kali di Uni Emirat Arab, dan sekali di Spanyol. Setiap pelatnas hanya berlangsung empat atau lima hari.

Masaki Asada, menambahkan, tidak gampang bagi pemain Jepang merebut posisi di klubnya. ”Pemain Jepang rata-rata tidak punya teknik bagus. Mereka harus kerja keras,” ujar kontributor salah satu majalah sepak bola Jepang itu.

Begitulah proses yang terjadi di balik keperkasaan sepak bola Australia dan Jepang. Kedua negara itu tidak menempuh jalan instan, seperti yang terus-menerus dilakukan PSSI dengan mengirim tim ke luar negeri.

Padahal, potensi teknik sepak bola anak-anak muda negeri ini tidak kalah hebat. Namun, potensi besar itu diabaikan PSSI yang tidak memilih kompetisi usia muda sebagai jalan membentuk timnas. Bagaimana, PSSI belum mau belajar juga yaa ????? -Rezza Mahaputra Lubis-

Dengarlah Wahai PSSI (3)

Skandal mafia wasit bukan hanya mencederai fair play dan sportivitas, tetapi juga menghancurkan kualitas kompetisi sepak bola Indonesia. Jadi, tidak mengherankan jika prestasi tim nasional terpuruk karena pemainnya dihasilkan dari kompetisi yang penuh rekayasa dan tidak sehat.

Kian jebloknya prestasi tim nasional Merah Putih dianggap sebagai cerminan dari kualitas kompetisi sepak bola dalam negeri. Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dituding tak mampu menciptakan kompetisi sepak bola yang berkualitas dan sehat.

Menurut mantan Pelatih PSMS Medan Parlin Siagian, PSSI sebagai penanggung jawab kompetisi sepak bola di Tanah Air tak pernah sadar, kualitas kompetisi semakin terpuruk beberapa tahun terakhir. Padahal dari indikator yang kecil saja, orang bisa menilai ada yang salah dengan kompetisi sepak bola di Indonesia.

”Banyak aturan yang kemudian justru dilanggar pengurus PSSI sendiri. Ini menjadi penyebab banyak pertandingan yang justru mengakibatkan perkelahian. Ada pertandingan yang tak boleh ditonton suporter. Ini kan buah pengorganisasian sepak bola yang enggak betul,” ujarnya.

Dikuasai mafia

Menurut Parlin, pengorganisasian kompetisi yang tidak sehat menjadi pangkal merosotnya prestasi tim nasional. Dia melihat, kualitas pemain sebenarnya tak kalah dengan negara Asia lainnya. Namun, sayang, kualitas mereka tak pernah terasah dalam kompetisi yang menjunjung tinggi sportivitas. ”Masalahnya selalu sama, kompetisi sepak bola kita dikuasai mafia. Jadi semua tim menghalalkan segala cara untuk menang,” katanya.

Secara terpisah, mantan pemain tim nasional era 1960-an, Bob Hippy, mengatakan, jual beli hasil laga berimbas buruk pada tim nasional. ”Jual beli hasil pertandingan memperburuk kualitas kompetisi yang imbasnya sudah pasti kepada tim nasional. Kompetisi seperti itu tidak akan menghasilkan pemain yang berkualitas,” ujar Hippy.

Hippy menjelaskan, kualitas pemain akan semakin terasah jika bermain pada kompetisi yang bermutu. Menurutnya, ada tiga kelemahan yang mencolok pada kompetisi kali ini, yakni materi pemain lokal yang tidak membaik, pemain asing yang tidak memadai, serta kualitas wasit yang juga buruk, bukan hanya dari sisi teknis, melainkan juga moral, terbukti dengan terbongkarnya kasus mafia wasit.

Parlin menambahkan, PSSI juga selalu jatuh dalam lubang yang sama saat membina tim yunior. ”Enggak tahu mungkin karena proyek sehingga pengurus PSSI ramai-ramai berebut jika ada timnas yunior dikirim ke luar negeri. Padahal tak pernah ada yang berhasil dari tim usia muda yang dikirim ke luar negeri. Itu karena di sana mereka tak pernah berkompetisi dengan benar,” ujarnya.

Pembinaan nyaris mati

Soal pembinaan pemain usia muda juga menjadi sorotan mantan pemain PSMS dan tim nasional era 1980-an, Ricky Yakob. Menurut Ricky, sejak era Liga Indonesia, saat kompetisi perserikatan dan Galatama digabung, praktis tak ada lagi pembinaan pemain usia muda. Penggabungan ini mengakibatkan banyak kompetisi internal tim perserikatan, yang sebenarnya menjadi wadah pemain muda, mati suri, kalau tidak dikatakan mati selama-lamanya.

”Coba sekarang, mana ada lagi kompetisi di (internal) perserikatan. Inilah salahnya model kompetisi sekarang ini (menggabungkan perserikatan dan Galatama). Tak ada regenerasi karena tidak ada pembinaan pemain muda,” katanya.

Mantan pemain tim nasional PSSI tahun 1977, Yopie Lumoindong, menilai buruknya prestasi tim nasional PSSI tidak lepas dari perubahan paradigma pemain bola. Sejak sepak bola Indonesia memasuki era profesionalisme, dedikasi pemain terhadap tim nasional menurun. Selain itu, buruknya prestasi juga diakibatkan kegagalan pembinaan PSSI.

Kompetisi klub anggota perserikatan, misalnya, dilaksanakan asal-asalan. PSSI juga hanya memerhatikan kompetisi Liga Super, tetapi lalai memerhatikan kompetisi anggota perserikatan. PSSI juga tidak memerhatikan kompetisi tingkat yunior.

Dengarlah Wahai PSSI (2)

Untuk membenahi tim persepakbolaan yang terpuruk, bukan hanya teknik para pemain yang menjadi perhatian. Menurut mantan pemain dan pelatih tim nasional, Sarman Panggabean, yang tidak kalah penting ialah pembenahan di PSSI dan Badan Tim Nasional.

Sarman yang bersama Bertje Matulapelwa mengantarkan timnas Indonesia ke semifinal Asian Games Seoul 1986 mengatakan, pemikiran dan konsep pembinaan pemain yang dilakukan PSSI melalui Badan Tim Nasional (BTN) selama ini salah. Sarman melihat, badan itu selama ini ditangani orang yang tidak berkompeten mengurusi teknis sepak bola sehingga menelurkan kebijakan yang asal-asalan, seperti pengiriman pemain muda berlatih ke luar negeri, yang sejauh ini tidak ada hasilnya.

”Bukannya membenahi kompetisi dan pembinaan pemain muda di dalam negeri, mereka mencoba cara instan dengan mengirimkan pemain ke luar negeri. Pemikiran-pemikiran yang salah seperti itu harus dibuang dari PSSI atau BTN hingga pembinaan di dalam negeri kembali berjalan. Saat ini di PSSI juga tidak ada lembaga yang mengurusi soal teknis,” kata Sarman.

Lebih jauh, ujar Sarman, tidak dibenahinya pembinaan berakibat pada regenerasi pemain yang mandek, menyulut krisis pemain tim nasional. Sarman mengatakan, krisis pemain tim nasional bukan semata-mata karena kehadiran pemain asing, tetapi lebih disebabkan oleh pola pembinaan yang salah tersebut.

”Kalau pembinaan benar, akan selalu muncul pemain lokal berbakat yang bisa bersaing dengan pemain asing. Jangan selalu menyalahkan pemain asing, yang salah adalah konsep dan pemikiran dalam pembinaan selama ini,” ujar Sarman.

Di Bandung, Jawa Barat, mantan asisten pelatih sekaligus mantan pemain Persib Bandung, Bambang Sukowiyono, mengatakan, PSSI harus mencari pelatih dan direktur teknik tim nasional sepak bola Indonesia yang kualitasnya telah teruji. Harapannya, mereka bisa menyusun program kerja jangka yang tepat bagi pemain timnas Indonesia.

”Terpuruknya prestasi timnas menunjukkan ada yang tidak tepat dalam program latihan dan kerja. Hal ini harus diperbaiki bila menginginkan terbentuknya tim yang solid untuk bersaing dengan negara lain,” ujarnya.

Sementara itu, mantan Bendahara PSSI Irawadi Hanafi sangat kecewa dengan ucapan mantan Ketua BTN Rahim Sukasah yang seolah-olah melepas tanggung jawab atas kegagalan BTN mengangkat prestasi tim nasional. ”Itu adalah ucapan orang yang frustrasi. Mereka selalu menyalahkan orang lain. Contohnya, menyebut cara berpikir pemain Indonesia yang kurang luas dan menyalahkan situasi. Kalau sudah tidak mampu jadi pengurus, sebaiknya mundur saja,” kata Irawadi.

Secara terpisah, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat Margiono seusai bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, Presiden meminta pers bersama KONI untuk memelopori diselenggarakannya kongres sepak bola Indonesia. Ada keinginan Presiden agar sepak bola maju dan harus menjadi olahraga kebanggaan Indonesia.

Dengarlah Wahai PSSI (1)

Mandeknya prestasi persepakbolaan Tanah Air selama ini menunjukkan ketidakmampuan manajemen PSSI. Untuk itu, revitalisasi dan reorganisasi PSSI, termasuk Badan Tim Nasional, mutlak diperlukan demi mengatasi keterpurukan dan mencegah agar tidak berulang.

Menurut Hippy, kegagalan tim nasional pada kancah kompetisi internasional merupakan bentuk ketidakmampuan pengurus yang perlu dipertanggungjawabkan kepada publik. ”Tidak bisa begitu saja melimpahkan kesalahan pada pemain. Padahal, faktanya tidak ada pembibitan,” ujarnya.

Hippy mengakui, prestasi tim nasional tidak bisa didapatkan dengan cara instan, tetapi harus melewati proses jangka panjang. Untuk itu, dibutuhkan pembinaan pemain usia muda secara fokus dan berkelanjutan.

”Pembinaan usia muda selama ini berhenti, tidak ada kontinuitasnya. Jadi tidak pernah didapat pemain yang berkualitas,” kata Hippy.

Mantan Sekretaris Jenderal PSSI Tri Gustoro menambahkan, pembinaan usia muda perlu dilakukan dengan menggulirkan kompetisi secara berkesinambungan. ”Boleh saja mengirimkan pemain ke luar negeri, tetapi jangan mengabaikan kualitas kompetisi di dalam negeri,” ujarnya.

Untuk itu, ia mengimbau kepada para pengurus klub dan PSSI untuk secara jujur menilai kondisi persepakbolaan Tanah Air sekarang ini. ”Jika memang pengurus dinilai tidak baik, jangan dipilih lagi nantinya,” ungkap Tri Gustoro.

Secara terpisah, pemerhati sepak bola nasional, Isfahani, mengatakan, sepak bola Indonesia tidak akan pernah berkembang jika orang-orang yang saat ini menjadi pengurus PSSI masih bercokol. ”Selain kemampuan teknis, ada dua hal yang harus dimiliki seseorang untuk menjadi pengurus, yakni moralitas (berani untuk mengaku salah) dan sportivitas (mau mengaku jika tidak mampu). Dua hal itu tidak dimiliki oleh Nurdin Halid dan pengurus PSSI lainnya,” kata Isfahani, yang juga aktif sebagai peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi.

Isfahani menambahkan, para pengurus PSSI saat ini sudah terbukti gagal membina persepakbolaan Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari prestasi tim nasional, baik yunior maupun senior, serta kompetisi yang penuh rekayasa, terbukti dengan terbongkarnya kasus suap dan mafia wasit.

”Nugraha Besoes, Andi Darussalam Tabusalla, dan Rahim Sukasah itu sudah mengurus sepak bola sejak kapan? Sudah bertahun-tahun, tetapi sepak bola kita justru semakin terpuruk. Mereka jelas tidak mampu, tetapi masih juga bertahan meski tidak ada prestasinya. Jangan cari kambing hitam terus, kalau tidak mampu, harus turun. Revitalisasi dan reorganisasi PSSI harus dilakukan jika persepakbolaan Indonesia ingin bangkit,” tutur Isfahani.

Jumat, 29 Januari 2010

Kejujuran seorang Peter Withe


Peter Withe mengangkat pengalamannya sebagai pelatih di kawasan Asia Tenggara, Withe juga menyebutkan pengalamannya menangani Indonesia. Withe menyatakan Indonesia [PSSI] telah melakukan kesalahan besar, dan kini berada dalam masalah, karena telah memecat dirinya.

Menurut Withe, Indonesia mengakui Indoneia mempunyai banyak pemain berbakat yang perlu diasah perlahan-lahan. Namun Withe melihat ada perbedaan mendasar antara pemain Thailand dan Indonesia.

“Pemain Thailand selalu diarahkan untuk bermain demi raja dan negaranya. Banyak pemain Indonesia diarahkan, ini yang menyedihkan, kepada uang. Itu memang tidak salah, tapi bermain untuk negara adalah sesuatu yang membanggakan dalam karir sepakbola Anda. Ketika saya membela Inggris saat melawan Brasil, saya merasa bangga,” ujar Withe.

“Saya tidak mengatakan semua pemain Indonesia seperti itu, tapi berdasar pengalaman saya, motivasi uang jauh lebih besar.”

“Butuh waktu untuk mengubah semua kebiasaan itu yang sepertinya sudah melewati berbagai generasi. Anda harus mengubah sikap seperti ini terhadap pemain muda, dan juga orang tua yang mempunyai impian besar. Seperti yang Anda tahu, Indonesia adalah salah satu negara dengan populasi terbanyak, dan beberapa pemain datang dari keluarga miskin.”

“Indonesia tidak mempunyai peluang untuk lolos ke Piala Asia, dan bisa mengalahkan Austarlia di pertandingan terakhir.”

“Kami pernah bermain melawan Australia di Perth untuk menggalang dana tsunami di Indonesia, dan menelan kekalahan 3-0. Saya pikir, sekalipun Australia menurunkan pemain dari kompetisi negaranya, mereka tetap akan menang. Tapi mereka hanya membutuhkan
hasil imbang.”-Rezza mahaputra Lubis-

Berita Terakhir Radja Nainggolan & Irfan Bachdim

Pemain berdarah Indonesia, Radja Nainggolan, senang dengan kepindahan ke Cagliari. Pemain asal klub Serie B Italia Piacenza ini secara resmi pindah ke klub barunya dan siap menyongsong tantangan di kompetisi tingkat teratas.

"Saya datang dengan penuh antusiasme. Tujuan saya di sini untuk berkembang pesat," tuturnya kepada Itasportpress."Saya mempelajari transfer ini dan saya segera menyepakatinya. Cagliari kelihatannya tim yang bersatu dan kompak. Sisanya saya akan ketahui langsung nanti."Radja siap bermain di posisi manapun sesuai instruksi pelatih Massimiliano Allegri."Saya bisa bermain di berbagai posisi di lini tengah. Saya lebih baik jika diposisikan di kiri, tapi saya harap bisa mendapat tempat dalam tim inti, di mana saya ditempatkan itu tak masalah," tukasnya. Di tim Cagliari Radja kini mengunakan No 28. Sebelumnya di Piacenza ia selalu mengunakan No 21 atau 10.

Radja bermain untuk Piacenza sejak 2005 dan menjadi bagian tak terpisahkan dari timnas Belgia U-21 sebelum akhirnya mencicipi debut bersama timnas senior tahun lalu. Pemain 21 tahun itu didatangkan sebagai program pertukaran dengan gelandang Belarusia Mikhail Siyakov.Nainggolan diboyong dengan status transfer dengan opsi menjadi pemain tetap di Cagliari. Ia telah bergabung dengan Piacenza sejak 2005.

Nainggolan adalah gelandang tim nasional Belgia yang lahir di Antwerp. Nama Indonesianya didapat dari sang ayah dan ibu asli Belgia. Sebaliknya, Piacenza akan mendapat Sivakov, 21 tahun dengan status pinjaman selama enam bulan.Ayahnya, Marianus, adalah pria berdarah Batak yang menjadi pengusaha di Bali dan ibunya, Lizi Bogaerd berkewanegaraan Belgia. Meski berdarah Indonesia, Radja saat ini tercatat sebagai anggota timnas Belgia U-21.

Radja ditarik dari klub Belgia, Germinal Beeschot ke Piacenza, Italia pada 2005. Di klub Serie B ini, karir Radja mulai bersinar. Ia pun sempat menjadi incaran Fiorentina dan AS Roma sebelum akhirnya bergabung dengan Cagliari


Sementara itu Irfan Bachdim, mantan pemain FC Utrecht Belanda, yang saat ini tengah menjalani tes di Persija Jakarta, membuka rahasia kenapa dirinya memilih untuk berlabuh di "Macan Kemayoran".

Padahal, beberapa tim dikabarkan sangat ingin menggunakan tenaganya. Maklum saja karena dia merupakan salah satu pemain yang nota bene produk dari Liga Eropa.

Ditemui usai menyaksikan laga Persija kontra Bontang FC di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan,Irfan menyatakan pemain Persija cukup bersahabat.

Ia pun mengaku cukup senang sekiranya bisa membela Persija di putaran kedua Superliga 2009/10, karena menurutnya pemain yang menghuni skuad Persija saat ini cukup berkualitas.

"Itulah alasan saya kenapa memilih Persija. Memang ada beberapa tim yang
menginginkan saya. Tapi pilihan pertama saya adalah Persija," beber Irfan dengan bahasa Inggris yang pasih.

"Pemain Persija sangat friendly. Saya bisa katakan ini, karena saya sudah tinggal bersama mereka di mes sejak beberapa hari lalu. Saya sangat senang bisa bermain di Persija. Ini tim hebat," tambahnya.

Ditanya mengenai kemungkinan bermain di Persib Bandung yang juga menginginkannya, Irfan mengaku tidak tertarik karena dirinya merasa klub tersebut tidak bersahabat.

Sedangkan mengenai alasan dirinya ingin merumput di Liga Indonesia dan tidak melanjutkan karir di Liga Eropa, seperti yang selama ini ia jalani, pemain muda dengan potongan rambut yang cukup nyentrik ini mengaku karena ingin berbaju timnas Indonesia.

Meski begitu, penampilan mantan pemain FC Utrecht di Liga Belanda ini setidaknya mendapat pujian dari direktur teknik Persija Benny Dolo, yang menilainya memiliki visi bermain cukup baik.

"Secara kualitas, Irfan tidak ada masalah. Dia (Irfan) memiliki visi bermain yang cukup baik," sebut Benny Dollo saat di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, kemarin.

"Bagaimana pun, dia itu kan pemain yang merupakan produk dari Liga Eropa, sehingga kualitasnya tidak perlu diragukan. Saya pikir, dia sangat layak bermain di Persija untuk putaran kedua nanti."

Hanya saja masih kata pria bertubuh tambun yang akrab disapa Bendol, keputusan untuk merekrut pemain itu ada di tangan manajemen tim, sehingga dirinya belum bisa memastikan kapan Irfan akan teken kontrak. -Rezza Lubis dari berbagai sumber-