Sabtu, 27 Februari 2010

Tanah Papua Amunisi Talenta Muda

Sejarah membuktikan bahwa secara alami di tanah Papua selalu melahirkan pemain-pemain berbakat. Ini bisa terihat takakala seorang anak papua bernama Dominggus Waweyai, yang sangat fenomenal. Dahulu ia juga stiker tangguh timnas. Waweyai juga salah satu tendem Sucipto Suntoro alias Gareng dalam membela tim Merah Putih di kancah internasional.

Sayangnya ketika PSSI try out ke Eropa, Waweyai tidak kembali dan malah memilih tinggal di Belanda. Selain Waweyai yang fenomenal ada pula pemain lainnya seperti Timo Kapisa, Yohanes Auri, Adolof Kabo. Selanjutnya Noah Mariem, Rully Nere, Theorodorus Bitbit, Aples Tecuari, Rony Wabia dan Crist Leo Yarangga. Diera tahun 2000an kita mengenal Elly Aiboiy Alexander Pulalo, Boaz Solossa. Ortizan Solossa, Imanuel Wanggai, Ricardo Salampesy, Cristian Woarabay dan lainnya.

Menurut Rully Nere, generasi emas Papua akan segera kembali tercetak. Ia melihat striker Alan Arongear punya potensi bagus dia baru berusia 17 tahun dan juga punya skill individu yang bagus. Selain itu Rully Nere juga melihat pemain belakang seperti Edison Ames, Ilfred Soo, Yohanes Tjoe juga berpotensi mejadi pilar timnas dimasa datang. Kemudian Cristian Uram dan Yan Piet Alex, dua pemain sayap ini termasuk cikal bakal pemain yang baik. "Saya melihat banyak pemain baru yang bagus dan sekarang tinggal bagaimana mencari dan membina mereka serta memberikan sentuhan teknik dan skill individu yang baik," ujarnya.

Pendapat lainya juga di amini oleh Max Pieter, "Saya tidak percaya kalau tanah Papua krisis striker dan pemain, banyak pemain alam yang terus lahir di sini.Tapi sayang saya melihat pembinaan masih kurang sehingga mereka berkembang apa adanya tanpa banyak uji coba dan latih tanding ke luar Papua," tegas Max Pieter, mantan pemain tim PSSI dan juga mantan pelatih PSSI usia 15 tahun.

Menurut Max Pieter yang juga mantan pelatih Sekolah Sepak Bola Ragunan Jakarta, latihan-latihan dasar sepak bola bagi para pemain bola di tanah Papua sangat penting." Coba lihat saja seorang pemain yang sudah berpengalaman tetap harus berlatih dribling yang baik termasuk passing bola. Sebab kalau sudah menguasai teknik-teknik dasar sepak bola dengan sendirinya akan berkembang di lapangan,"tegas Max.

Walaupun tanah Papua gudang pemain bola, Tetapi dulu di persipura dengan cederanya Boaz Solossa justru membuat pelatih kepala Persipura Irvan Bhakti pusing kepala untuk mencari pemain baru pada posisi Boaz . Memang ada pemain muda seperti Korneles Kaimu, Tinus Pae dan Anthon Mahuse tetapi belum sebaik Boaz Solossa. Sehingga tidak ada pilihan lain sehingga terpaksa pelatih Kepala Persipura Irvan Bhakti memasukan pemain asal Kamerun Jeremiah yang berpasangan dengan striker asal Brasil Albeto.

Padahal sebelumnya Beto sudah padu dengan Boaz Solossa. Bisa di lihat oleksi goal Boaz pada putaran pertama Liga Indonesia 2006-2007 mampu membuat goal 13 goal dan merupakan satu satunya pemain Indonesia yang mampu menyaingi Cristian Gonzales pencetak goal terbanyak sebelumnya. Memamang Ironis hampir sebagian besar pencetak gol terbanyak di Liga Indonesia didominasi oleh pemain asing. Mungkin ini merupakan pekerjaan rumah bagi PSSI dan juga pengurus klub klub di daerah untuk selalu membina dan melahirkan pemain pemain muda berbakat

Sebenenarnya pembinanan berkala pemain bola Papua, bisa terlihat di ajang PON. Setiap PON selalu melahirkan bintang-bintang muda asal Papua. Boaz Solossa, Ricardo Salampesy, Cristian Worabay adalah bekas pemain PON Papua di Palembang 2004 lalu.

Begitu pula dengan Christ Leo Yarangga, Ronny Wabia, Aples Tecuari, Alexander Polalo, Herman Polalo,Izak Fatary dan Ritham Madubun yang juga merupakan pemain pemain eks PON. Kehebatan mereka pada saat itu tercermin disaat David Saidui memasukan gol dengan pantatnya atau yang dikenal dengan gol pantat di depan gawang tim PON Banda Aceh di tahun 1993 di partai final. Anak-anak Papua pun menang besar 6-2 dan sangat fenomenal karena mereka bermain dengan skill dan kerjasama yang baik.

Kini secara otomatis para pemain eks PON Papua pun secara langsung direkrut masuk Persipura, Persiwa Wamena dan Persidof. bahkan tim-tim di luar papua pun seperti PSMS dan Sriwijaya FC juga memakai tenaga mereka.

Sudah menjadi target time elit Papua kalau eks pemain PON akan direkrut jadi tim Mutiara Hitam atau Persipura sebut saja eks PON Palembang antara lain Ricardo Salampesy, Korinus Fingkreuw, Elias Korwa, Cristian Worabay dan lainnya pernah memperkuat skuad Mutiara Hitam. Tapi kini karena Mutiara Hitam kini sudah memiliki atau diback up tim Persipura U18 dan Persipura U23. Para pemain PON mulai tersebar ke beberapa klub lainya. Karena para pemain muda di Persipura U-18 dan U-23 juga memiliki kualitasnya permainan di atas rata-rata pemain seusia mereka.

Pelatih Kepala Persipura U 21 Ferdinando Fairyo mengatakan untuk menghasilkan banyak pemain berbakat atau mau menjadikan tanah Papua sebagai gudangnya pemain bola harus melakukan pembinaan yang terarah dan sungguh serta memiliki hati yang tulus. “Kalau tidak sepenuh hati maka saya khawatir akan tidak membawa hasil yang maksimal dan hanya memikirkan materi tanpa melahirkan pemain bintang,”ujar Fairyo mantan asisten pelatih PON Palembang lalu.

Dikatakan nya, "Dulu Ricardo Salampessy dianggap pemain yang tak berpotensi dan badannya terlalu kecil dan lembek tetapi sebagai pelatih harus mendorongnya terus agar maju dan percaya diri. “”Lihat sekarang dia jadi langganan timnas PSSI" üjar Fairyo yang baru saja mengikuti kursus pelatih lisensi C di Jakarta. Ia juga menyarankan diklat seperti PPLP Papua juga sanggup melahirkan banyak pemain kalau ada keseriuasan dan kemauan maka hasilnya pun akan maksimal.

Sekarang kini tinggal terserah kita saja, atau mungkin bapak-bapak di PSSI sudah mulai berpikir untuk serius membina bibit muda di tanah Papua, di bandingkan menghaburkan uangnya membina tim di luar negeri tanpa hasil.

Jumat, 26 Februari 2010

Liem Tiong Hoo Legenda Persebaya Yang Terlupakan

Penggemar sepak bola zaman sekarang mungkin tidak mengenal Liem Tiong Hoo alias Hendro Hoediono. Tapi cobalah bertanya kepada oma-opa yang pernah menikmati geliat Persebaya (Persatuan Sepakbola Surabaya), bond atawa perserikatan bola kebanggaan arek-arek Suroboyo, pada era 1940-an dan 1950-an.Nama Liem Tiong Hoo, pemain klub Tionghoa (kemudian berganti nama menjadi Naga Kuning dan Suryanaga, Red), sangat terkenal pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Liem benar-benar menjadi idola masyarakat pada masanya. Dia bersama para pemain lain dari sejumlah klub di Surabaya berjasa melambungkan nama Persebaya di pentas bola nasional.

“Zaman saya dulu Persebaya hampir selalu menang, jarang kalah. Dan nggak pernah ada kerusuhan,” tegas Liem Tiong Hoo.Waktu masih anak-anak Ia sudah sangat suka main sepak bola. Pulang sekolah, Liem Tiong Hoo kecil langsung menuju lapangan di Cannalaan, yang sekarang jadi Taman Remaja.

Pada tahun 1934-1944, di Surabaya ini ada klub Persebaya dan SVB atau Soerabaiasche Voetbal Bond. SVB ini diikuti klub-klub seperti Tionghoa, HBS (Houd Braef Standt), Exelcior, THOR (Tot Heil Onzer Ribben), Gie Hoo, Annasher. Itu merupakan kenangan yang tak akan pernah ia lupakan. Ketika dirinya masih berjaya sebagai pemain sepak bola dan bisa mencetak banyak gol di gawang lawan. kemudian namanya akhirnya dikenal orang di mana-mana.

Akhirnya prestasinya itu membuat dirinya di lirik Persebaya.Tahun 1943 dirinya menjadi pemain termuda di Persebaya dengan usia 17 tahun. Setelah itu menLiem Tiong Hoo jadi langganan di Persebaya. Ikut kejuaraan dan turnamen di berbagai kota seperti Jakarta, Semarang, Bandung.

"Persebaya dulu itu beda dengan yang sekarang ini. Persebaya itu bukan klub yang membeli pemain-pemain dari luar, tapi mengambil pemain dari klub-klub yang ada di seluruh Kota Surabaya. Pemain yang bagus-bagus dari beberapa klub itu diambil untuk memperkuat Persebaya " kenangnya.

Pada saat masa nya dulu Persebaya memang terkenal sangat kuat.Dulu, Persebaya punya trio lini belakang dan trio lini depan yang disegani lawan-lawannya. Trio belakang: Sidi, Sidik, Sadran. Trio depan: (Liem Tiong Hoo), Bhe Ing Hien, Tee San Liong. "Kalau ada tiga teman di belakang ini, saya tidak khawatir pasokan bola dan pertahanan akan bagus. Itu yang membuat Persebaya sangat kuat " ujar Liem Tiong Hoo.

Suatu ketika tim nasional Republik Tiongkok Nasionalis berkunjung ke Surabaya. Liem tentu saja memperkuat Persebaya untuk menghadapi kesebelasan yang saat itu sangat disegani di Asia Timur Jauh (Far-East Asia). Melihat kelincahan Liem mengolah si kulit bundar dan mengecoh lawan-lawannya, Liem diajak memperkuat tim nasional Tiongkok."Saya menolak karena saya orang Indonesia. Saya bukan orang Tiongkok," tegas Liem Tiong Hoo.

Bukan itu saja. Liem juga dirayu agar bergabung dengan klub Feyenoord di Negeri Belanda. Biaya kuliah, biaya hidup, dan sebagainya ditanggung pihak Belanda asalkan bintang muda Persebaya asal Klub Tionghoa itu mau diboyong ke negara kincir angin. "Saya bilang tidak. Saya bukan orang Belanda. Saya orang Indonesia," kenang ayah tiga anak dan kakek enam cucu ini.

Menjelang Olimpiade 1952, diadakan seleksi pemain untuk membentuk tim nasional Indonesia. Liem tidak bisa berlatih intensif karena beban studi di FK Unair sangat tinggi. Namun, pelatih dan pengurus PSSI ingin agar Liem masuk tim nasional meskipun tidak ikut seleksi dan latihan. Liem kontan menolak. "Saya bilang, saya nggak ikut latihan kok masuk tim?" tukasnya.

Tim seleksi tetap meyakinkan bahwa kemampuan Liem Tiong Hoo masih selevel dengan pemain-pemain nasional lain meskipun tidak berlatih. Liem rupanya tak bisa dirayu. "Saya harus konsekuen. Kalau nggak ikut latihan, ya, tidak boleh ikut gabung. Itu sudah jadi prinsip saya," tegasnya.

Di usia 83 tahun, Liem Tiong Hoo, yang lebih dikenal sebagai Dokter Hendro Hoediono, masih tetap praktik sebagai spesialis penyakit kulit dan kelamin. Tubuhnya masih tegap, ingatan tajam, dan punya selera humor tinggi. Liem masih ingat persis kejadian-kejadian lucu yang pernah dialaminya di lapangan hijau 70-an tahun silam.

“Gigi saya ini palsu karena yang asli sudah patah saat main sepak bola. Main sepak bola, ya, risikonya begitu. Kalau nggak mau, ya, silakan main pingpong atau badminton,” ujar Liem Tiong Hoo.

BIODATA

Nama : Liem Tiong Hoo
Nama populer : dr. Hendro Hoediono
Lahir : Surabaya, 23 Oktober 1926
Istri : Listiyani (almarhumah)
Idola : Lee Waitong, Raja Bola Timur Jauh (Tiongkok) era 1930-an.

Pendidikan :
- Algemeene Middelbare School (AMS), Jl Kusuma Bangsa Surabaya
- Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya

Penghargaan:
- Ketua Umum Persebaya Bambang DH, 18 Juni 2004, sebagai legenda Persebaya.
- Presiden Soeharto sebagai dosen FK Unair yang berdedikasi.

Senin, 22 Februari 2010

Nasrul Koto Mutiara Arseto Solo


Nasrul Koto adalah “mutiara” yang ditemukan Nobon. Pelatih sepak bola asal Sumatera Utara itulah yang melihat bakat Nasrul dan menggandengnya menjadi salah satu penyerang tim Pekan Olahraga Nasional Sumatera Utara 1984/1985. Ketajamannya dalam merobek jala gawang lawan membuat Nasrul menyisihkan striker utama PSMS Medan kala itu, Syamsir Alamsyah. “Hanya dua orang pemain PSKB Binjai yang masuk tim PON Sumatera Utara,” kenang Nasrul dengan bangga. Ajang PON mengantarkan Nasrul menjadi pemain sepak bola profesional.

Bakat bola Nasrul itu menetes dari ayahnya, Isti Jangge. Ayahnya pernah menjadi pemain di Binjai sebelum menekuni usaha konfeksi. Salah satu kakak kandungnya, Hambrita Koto, juga bekas pemain nasional.

Seusai PON, nama Nasrul bersinar dan kemalasan untuk sekolah menghinggapinya. “Kemalasan” itu disambar oleh Arseto Solo dengan menyodorkan tawaran menjadi pemain. Pada 1985, Nasrul menjadi salah satu pilar klub milik Sigit Hardjojudanto yang bermarkas di Kadipolo itu. Sebelumnya, ia sempat dipanggil menjadi salah satu calon pemain PSSI Garuda, tapi batal.

Di klub barunya, Nasrul hanya perlu dua tahun untuk membuktikan diri sebagai penyerang andalan. Pada musim kompetisi Galatama 1987, ia merebut sepatu emas sebagai pencetak gol terbanyak dengan mengemas 16 gol. Nasrul juga ikut andil membawa Arseto sebagai juara Galatama 1993.

Dari Solo, Nasrul melanglang buana ke sejumlah klub. Setelah berpesta di Arseto, ia berlabuh di Aceh Putra semusim dan membela Semen Padang juga semusim. Akhirnya Nasrul mengakhiri petualangannya di dunia sepak bola dengan kembali ke Kadipolo, kandang Arseto. Pemerintah Sumatera Barat sebenarnya menginginkan Nasrul membela PSP, salah satu klub Perserikatan. Ia juga akan dijadikan pegawai Bank Sumbar, tapi lagi-lagi ditolak. Ia balik ke Arseto, yang kemudian menjadi klub tempatnya mengakhiri karier sebagai pemain profesional.

Namun, sepak bola meninggalkan kenangan buruk bagi Nasrul. Ia pernah menerima enam jahitan di tengah lapangan karena “diambil” Donny Lattuperisa. Di lapangan hijau pula ia pernah tidak mampu menahan amarah dan beradu jotos. “Saya menyesal sekali. Satu-satunya kartu merah yang saya terima sepanjang saya menjadi pemain,” kata Nasrul saat mengenang sebuah pertandingan di Stadion Agus Salim, Padang.

Ia pernah diiming-imingi menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia seusai tim nasional meraih medali emas SEA Games Jakarta. Kalau itu diambil, “Mungkin (sekarang) sudah jadi kolonel atau letkol. Tapi waktu itu sama sekali tidak terlintas menanggapi tawaran Pak Kardono (Ketua Umum PSSI),” kata Nasrul.

Lelaki itu memilih menapaki jalur berliku di dunia bola, melanglang ke sejumlah klub. Berkat kecerdikannya menjadi penyerang, dia pernah “terdampar” di meja pabrik Pupuk ASEAN dan PT Semen Padang. Ia menjadi karyawan di sana, tapi cuma tahan semusim. Naluri bolanya tetap memanggil-manggil dan akhirnya ia meninggalkan seragam necis dan pekerjaan enak di belakang meja.

Pemerintah Sumatera Barat sebenarnya menginginkan Nasrul membela PSP, salah satu klub Perserikatan. Ia juga akan dijadikan pegawai Bank Sumbar, tapi lagi-lagi ditolak. Ia balik ke Arseto dan itu menjadi klub tempatnya mengakhiri karier sebagai pemain profesional. “Tidak mungkin berpisah dengan bola,” ujarnya.

Pilihannya itu akhirnya mengantarkan Nasrul melatih PSBS Bangkinang. Ia rela melakoni pekerjaan barunya itu meskipun harus berpisah dengan Veria Susanti, istrinya, serta dua anaknya, Nesia Zara Verina, 16 tahun, dan Fiqky Seto Ramadhan, 15 tahun. Orang-orang yang ia cintai itu tinggal di sebuah rumah yang dibelinya saat menjadi pemain Arseto di daerah Cemani, Sukoharjo.

Nasrul menyimpan obsesi besarnya yaitu memiliki klub sepak bola profesional sendiri, sesuatu yang masih jauh di awang-awang. Tapi impian itu bukan sesuatu yang mustahil. Dulu, saat Nasrul masih kecil di Binjai, ia tak bermimpi mengenakan kostum merah-putih berlogo Garuda. “Motivasi yang paling penting. Saya jadi pemain bola karena motivasi, bukan lantaran hasil didikan sekolah sepak bola,” ujarnya.

Butuh modal besar untuk membikin klub. “Saya sekarang belum punya apa-apa,” katanya. Namun, ia tetap bertekad mewujudkan impian itu. Ia yakin bisa mewujudkan cita-citanya. Lelaki itu pernah menjadi manajer pemasaran sebuah usaha konfeksi batik. Darah saudagar orang tuanya, Isti Jangge dan Rosmani, tampaknya mengalir deras ke Nasrul. “Kalau saya punya uang banyak, obsesi saya bisa memiliki klub sendiri,” katanya.

Karir bermain :

* PSKB Binjai (1983)
* Tim PON Sumatera Utara (1984)
* Arseto Solo (1985-1993)
* Aceh Putra (1993)
* Semen Padang (1994)
* Arseto Solo (1995-1997)
* Tim nasional King's Cup (1986)
* Tim nasional SEA Games (1987)
* Tim nasional Piala Kemerdekaan (1988-1989)
* Tim nasional Pra-Piala Dunia (1990)

Karir Pelatih :

* Persibi Boyolali (2001)
* PSBS Bangkinang Pekanbaru (2002-2004)
* Persibi Boyolali (2005)
* Persip Pekalongan (2005)
* PSBS Bangkinang Pekanbaru (2006-sekarang)





Jumat, 19 Februari 2010

Robby Darwis Libero Pangeran Biru

Bila kita melihat sejarah liga Indonesia pertama, tentu ada dalam sejarah bahwa juara pertama kalinya adalah Persib Bandung yang mengalahkan Petrokimia Putra melalui gol tunggal Sutiono Lamso. Yang kita bahas adalah sang kapten legenda pujaan Bandung Robby Darwis. Robby Darwis lahirLembang 31 Oktober 1965 . Robby ini memang di gelari bakat yang menjulang dan demikian pula dengan kepemimpinannya sangat menonjol.

Sebagian besar waktu karirnya dihabiskan dengan menjadi kapten baik di klub maupun di timnas Indonesia. Robby sempat memperkuat timnas Indonesia sebanyak 53 kali dan mencetak 6 gol, juga ikut mempersembahkan piala emas SEA GAMES 1987 dan 1991juga pernah menjuarai piala Sultan Hasanal Bolkiah tahun 1986 sebelum pensiun tahun 1997 setelah mengabdi selama 10 tahun. Sebagai pribadi dia memperroleh gelar pemain terbaik Indonesia tahun 1987 dan Robby dianugerahi sebagai pemain legendaris Indonesia pada final Copa Indonesia 2007. Robby memang ditakdirkan untuk jadi seorang bintang. Sejak bakatnya terendus pelatih Persib asal Polandia Marek januta di awal '80-an, jalan karier seakan terhampar mulus untuknya. Secara kebetulan dia tumbuh ketika atmosfer sepak bola Bandung tengah menginjak masa keemasan. Bersama adjt Sudrajat, Robby mewakili generasi Persib paling mencorong di pertengahan '80-an dan medio '90-an.

Tidak berlebihan bila Robby dianggap sebagai wakil generasi emas Persib paling bercahaya. Setidaknya jika kiprah di timnas dijadikan parameternya. Total sepuluh tahun (1987-1997) ia mengenakan seragam Merah-Putih. Dan sebagian besar waktu kariernya di timnas ia lalui sebagai seorang kapten.

Kiprahnya meninggalkan kesan tersendiri buat publik bola Bandung. Sebab, setelah ia pensiun tidak ada lagi pemain Persib yang dipercaya menjadi pemanggul komando di timnas. Tak heran bila sampai saat ini nama Robby selalu dipersonifikasikan dengan romantisme kejayaan Persib tempo dulu.


Sebuah pengakuan yang sangat wajar, mengingat Persib sempat menancapkan kukunya dengan amat dalam di altar sepak bola nasional semasa Robby masih aktif. Bersama koleganya di generasi emas Persib, tiga gelar juara Perserikatan dan satu trofi Liga Indonesia ia persembahkan untuk para bobotoh. Robby menganggap keempat gelar itu sama-sama mengesankan. Gelar pertama di kancah Perserikatan yang direbut pada musim 1985-86, dia anggap sebagai gerbang prestasi generasi emas Persib.

Keberhasilan itu terasa sangat berarti karena sebelumnya tim Pangeran Biru sempat merasakan pahitnya terlempar ke Divisi I pada 1978. Gelar sekaligus juga mengakhiri paceklik prestasi selama 25 tahun. "Sedangkan gelar juara Perserikatan 1989-90 menjadi jawaban atas kegagalan generasi emas pada tiga musim setelah merebut gelar pertama," tutur Robby. Begitu pula dengan gelar ketiga yang direngkuh tahun 1993-94. Terutama karena itulah kompetisi Perserikatan terkahir. Pada msuim berikutnya PSSI mengubah format kompetisi menjadi Liga Indonesia dengan menggabungkan tim asal Perserikatan dan Galatama. Karena itu pula Persib berhak menyimpan Piala Presiden secara permanen di lemari koleksi mereka. Kesan terhadap gelar keempat idak kalah impresifnya. Robby menyebut kebehasilannya menyabet titel kampiun Liga Indonesia I mengandung sebuah keajaiban.

Masih mengandalkan skuad generasi emas, Persib menjadi satu-satunya tim eks Perserikatan yang tampil di abbak 8 besar. Meski demikian, Robby Darwis dkk akhirnya mampu berkelit dari ekpungan klub-klub eks Galatama, untuk menjadi juara di tahun pertama kompetisi.
"Generasi emas Persib berhasil memungkas kompetisi Perserikatan dan membuka era Liga Indonesia dengan gelar juara. Saya yakin ini sebuah prestasi yang akan selalu dikenang," ujar Robby.Romantisme terhadap generasi Robby kian menjadi-jadi lantaran setelah titel Liga Indonesia I, Persib tidak kunjung berhasil menambah koleksi trofi juara.

Tidak ada pemain yang punya karakter yang khas dan kuat seperti Robby. Karakternya semasa aktif membela panji tim Pangeran Biru maupun timnas sangat identik dengan ‘tukang sapu bersih’ di lini pertahanan. Sampai kemudian sepak terjangnya di lapangan melahirkan istilah yang sangat populer di kalangan bobotoh, yaitu “halik-ku aing!” ( minggir biar aku yang ambil!). Tahun 1991 Robby sempat pindah ke klub Malaysia Kelantan FC. Namun aral tak dapat diduga. Baru sekali turun bertanding dia terkena sanksi tidak boleh bermain selama 1 tahun.

Banyak pihak di Indonesia hal ini dilakukan Malaysia karena tidak ingin Robby bertanding di SEA GAMES 1991 akan tetapi Robby tetap bermain dan Indonesia menjadi juara. Selepas dari Malaysia Robby kembali mebela Persib sampai tahun 1997 dan menutup karirnya sebagai pesepakbola di Persikab Bandung.

Robby beristrikan Suci Guntari saudara mantan rekannya di Persib Yudhi Guntara dan memiliki 4 orang anak yaitu Canigia Fikri Robiana, Careca Raka (alm), Ratu Najra (Bulan), Ratu Najdah (Bintang). Robby berprofesi sebagai pegawai bank BNI’46 Bandung tetapi cuti untuk menjadi asisten pelatih Persib (memiliki lisensi B). Sebelumnya Robby sempat melatih di di Produta selama 2 musim dan Persikab. Robby juga bersama rekan-rekannya di Persib dahulu mendirikan sekolah sepak bola yang diberi nama SSB Robby Darwis di daerah kelahirannya Lembang dengan obsesi inginmelahirkan pemain-pemain berkualitas yang pada saatnya akan memperkuat Persib dan Timnas.

Selasa, 16 Februari 2010

Kepingan Emas pertama timnas

Untuk pertama kalinya, sepak bola Indonesia mampu mengibarkan bendera Merah Putih di kejuaraan antarbangsa. Saat itu, langit bulan September betul-betul terasa biru bagi rakyat Indonesia. Lewat gol tunggal Ribut Waidi di menit ke-91 ke gawang Malaysia di partai final, untuk pertama kalinya Indonesia bisa merengkuh medali emas sepak bola di ajang SEA Games.

Ini merupakan trofi antarbangsa pertama yang pernah direbut timnas Indonesia. Dominasi Thailand dipatahkan. Kekuatan Malaysia dibenamkan. Sungguh prestasi yang heroik. “Pendahulu-pendahulu kami juga tak kalah hebatnya, tapi mereka tidak pernah berhasil mempersembahkan gelar juara. Wajar jika kami sangat bangga atas prestasi ini,” ujar Patar Tambunan, gelandang kanan yang ikut berandil mempersembahkan medali emas SEA Games 1987.

Tidak hanya Patar Tambunan yang patut berbangga hati. Semua pecinta bola Indonesia pastilah ikut bangga. Melihat prestasi timnas Indonesia kala itu, semua warga yang punya KTP Indonesia bisa sedikit mendongakkan kepala. Indonesia bukan lagi tim macan kertas. Indonesia adalah yang terkuat, setidaknya di Asia Tenggara. “Malah kami juga terhitung 4 besar di Asia,” ucap striker legendaris Indonesia, Ricky Yakobi.

Statement Ricky bukan sekadar bualan. Satu tahun sebelumnya, tim perebut medali emas SEA Games 1987 ini berhasil menapaki babak semifinal Asian Games 1986. Ini adalah prestasi tertinggi dalam lembaran sejarah sepak bola nusantara. Yang hingga saat ini, Indonesia belum bisa mengulanginya. BERSATU LUAR DALAM Tak dapat disangkal, timnas Indonesia 1986-87 merupakan timnas terhebat yang pernah dimiliki Indonesia—jika ukurannya trofi antarbangsa. Saat itu Indonesia punya pemain besar semacam Herry Kiswanto, Rully Nere, Robby Darwis, dan Ricky Yakobi. Talenta hebat yang kemudian berpadu dengan pelatih tak kalah hebat, mendiang Bertje Matulapelwa. “Bertje adalah pelatih hebat. Prinsip open management yang diterapkannya mampu menciptakan iklim tim yang kondusif,” kenang asisten pelatih Bertje kala itu, Sutan Harhara.

Prestasi Indonesia kala itu memang tak bisa dilepaskan dari sosok pelatih yang dijuluki “Sang Pendeta” tersebut. Dia bisa menyatukan pemain dari unsur yang berbeda, Galatama dan Perserikatan. Patut dicatat, saat itu beredar rumor bahwa pemain alumni Galatama tidak begitu akur dengan alumni Perserikatan. Embrio generasi emas itu terbentuk, pada akhir 1985. Setelah proyek timnas Garuda 1 selesai, PSSI memberikan mandat kepada Bertje guna membentuk tim baru. Mandat yang berat, pasalnya mental Indonesia sedang terpuruk setelah dibantai Thailand 0-7 di SEA Games 1985. Bertje mencoba membangkitkannya. Dengan lugas dia mengumpulkan talenta berbakat dari Galatama (seperti Ricky Yakobi dan Nasrul Koto), Perserikatan (Robby Darwis, Ribut Waidi, dll) dan sejumlah alumni Garuda 1 (semacam Patar Tambunan dan Marzuki Nyak Mad).

Proses pembentukan tim yang padu, ujar Sutan Harhara, ternyata gampang-gampang susah. Saat tim sudah lumayan padu, pada medio 1986 iklim tim hampir rusak karena masalah duit. Uang saku dari PSSI kepada pemain dinilai terlalu minim. Bayangkan saja, hadiah dari KONI untuk medali emas hanya Rp 1 juta per pemain. Sedangkan uang saku per bulannya selama pelatnas tak kalah mepet, kurang dari Rp 750.000/bulan.

Herry Kiswanto berkisah, dia bersama semua anggota tim pernah meminta kenaikan uang saku. Sayang, tuntutan tersebut tak digubris. Patah semangat? Untungnya tidak. Panggilan membela negara, ujar Herry Kiswanto, jauh lebih penting. Berkat suntikan semangat dari Bertje, para pemain Indonesia membuang jauh-jauh nafsu mengumpulkan duit. Yang tertanam hanya satu kalimat, kibarkan Sang Merah Putih di langit internasional. Tim Merah Putih di tangan Bertje, sebulan sebelum Asian Games digelar, sempat melakukan uji coba lebih dari sebulan di Brasil.

Formasi baru 4-3-3 yang memasang Ricky Yakobi sebagai striker tunggal ternyata lumayan paten. Hasilnya terbaca pada Asian Games 1986. Indonesia lolos ke semifinal. Sayang untuk kemudian kandas di tangan Korea Selatan. Seusai Asian Games, Bertje melakukan perubahan besar. Ban kapten dipindahkan dari lengan Herry Kiswanto ke Ricky Yakobi. Padahal, umur Ricky kala itu baru 23. “Bertje ingin melakukan regenerasi. Dan, aku merasa sudah saatnya dilakukan,” ujar Herry. Regenerasi itu berlangsung cemerlang. Indonesia benar-benar terbang tinggi di SEA Games 1987 Jakarta. Di hadapan pendukung setia, Indonesia tampil trengginas. Seusai membabat Burma 4-1 di semifinal, Indonesia menjinakkan Malaysia 1-0 di partai puncak. Indonesia juara. Merah Putih pun berkibar di langit Asia Tenggara.

Berikut ini skuad timnas Indonesia 1986-87 Pelatih: Bertje Matulapelwa
(Kiper): Ponirin Meka, Putu Yasa
(Belakang) : Jaya Hartono, Robby Darwis, Herry Kiswanto, Marzuki Nyak Mad.
(Tengah) : Sutrisno, Budi Wahyono, Patar Tambunan, Rully Nere, Azhary Rangkuti
(Depan) : Ricky Yakobi, Ribut Waidi, Nasrul Kotto

Prestasi: Semifinal Asian Games 1985, Juara SEA Games 1987 Raihan Timnas PSSI di level SEA Games Indonesia baru resmi ikut ajang SEA Games pada 1977. Selama kurun itu hingga saat ini, Indonesia hanya sempat 2 kali terbang tinggi. Pertama pada SEA Games 1987. Kedua pada 1991. Setelah itu prestasi Tim Merah Putih cenderung melorot. 1977 – Semifinal 1979 – Peringkat ke-2 1981 – Peringkat ke-3 1983 – Penyisihan grup 1985 – Semifinal 1987 – Juara 1989 – Peringkat ke-3 1991 – Juara 1993 – Semifinal 1995 – Penyisihan grup 1997 – Peringkat ke-2 1999 – Peringkat ke-3 2001 – Semifinal 2003 – Penyisihan grup 2005 – Semiifinal 2007 – Penyisihan gup 2009

Medali emas terakhir timnas Indonesia

Pelatih Anatoly E Polosin terlihat berdiri di sudut ruang ganti stadion, yang malam itu sangat hiruk-pikuk. Pelatih berdarah Rusia itu menyempatkan diri mengucapkan terima kasih kepada setiap pemain yang dia salami.

Setelah itu Polosin dan Vladimir Urin, asistennya, lebih banyak diam.Ini merupakan medali emas kedua tim nasional di SEA Games setelah SEA Games Jakarta pada 1987. Dan, ini menjadi malam terakhir pencapaian tertinggi sepak bola kita di arena pesta olahraga Asia Tenggara. Selebihnya, di sembilan acara SEA Games berikutnya, tim nasional tak mampu tampil di final. Bahkan, lebih parah lagi, Laos dan Burma sudah bisa mengalahkan Indonesia di SEA Games Laos, yang kini sedang berlangsung di Vientiane.

Malam di Stadion Rizal Memorial, terletak di Pablo Ocampo Street (sebelumnya dikenal sebagai Vito Cru2 Street), Malate, Manila, begitu indah. Di stadion yang pernah menggelar konser The Beatles pada Juh 1966 itu se-mua terasa mudah. Polosin, Urin, dan Danurwindo telah berhasil

meracik Eddy Harto dan kawan-kawan menjadi sebuah tim yang punya daya tahan lebih. Pada awal-awal kerjanya, Polosin lebih mengutamakan peningkatan stamina ketimbang taktik dan strategi. Sudah menjadi pemandangan biasa jika ada pemain yang menepi ke pinggir lapangan sambil menahan muntah.

Sepak bola, waktu itu, dikerjakan dengan penuh perhitungan, dan tidak diselimuti banyak proyek. Sebelum pergi ke Manila, tim nasional diterjunkan ke Piala Presiden di Korea Selatan dan Merdeka Games di Kuala Lumpur. Di Korea, tim nasional dige-buk Malta 0-3, Korea Selatan 0-3, dan Mesir 0-6. Di Kuala Lumpur, Indonesia dibungkam klub asal Austria, Admira Wecker, 0-2; tim nasional U-23 Cina, 1-3; dan menang atas Malaysia 2-1.

Di Manila semua terasa mudah. Sebelum meraih medali emas, Eddy Harto dan kawan-kawan melibas Malaysia 2-0, menyikat Vietnam 1-0,menang atas Filipina 2-1, menyingkirkan Singapura 4-2 di semifinal (diperkuat David Lee dan Fandi Ahmad), serta mempermalukan Thailand 4-3 di final (diperkuat Natee Thongsookkaew dan Worawoot Srimaka). "Medali emas ini karena pemain sudah mau berlatih keras," kata Polosin dengan bahasa Indonesia yang terputus-putus. Teriakan lelaki berwajah kaku ini pun sering terucap ketika dia mendampingi tim nasional berlatih di Stadion Utama Senayan (kini Stadion Gelora Bung Karno). Kata Polosin,"Cipot... cipat...
cipat..."(maksudnya cepat).

Kini, setelah 18 tahun berlalu, tim nasional sudah menjadi pecundang. Kekalahan oleh Laos dan Burma jangan dianggap sebagai peristiwa biasa. Sepak bola kita sudah berada di titik paling rendah.


Perjalananan Timnas menuju tangga juara SEA Games Manila 1991


(Group A)
Indonesia- Malaysia 2-0

(Manila, Rizal Memorial Stadium – 26.11.1991)
GOL : 1-0 Widodo Cahyono Putro, 2-0 Rocky Puttiray

Indonesia- Vietnam 1-0 (1-0)
(Manila, Rizal Memorial Stadium – 28.11.1991)
Indonesia : Edi Harto(GK), Ferril Hattu, Aji Santoso/Yusuf Ekodono, Robby Darwis, Peri Sandria, ,Widodo C Putro, Rocky Puttiray (4 players missing)
Coach :Anatoly F.Polosin
GOL : 1-0 (35’) Robby Darwis

Indonesia- Phillipines 2-1(0-1 )

(Manila, Rizal Memorial Stadium – 30.11.1991)
Indonesia : Erick Ibrahim(GK), Salahuddin, Heriansyah, Toyo Haryono, Herry Setiawan,Kashartadi,Hanafing,Yusuf Ekodono,Bambang Nurdiansyah/Widodo C Putro,Rocky Puttiray, Robby Darwis/ Ferril Hattu.
Coach :Anatoly F.Polosin
Philippines : Melo Sabacan(GK), Rodolf Alicante, Alfredo, D Eduardo, Norman /Salmon, Rosel /Barja, Pinero Rolandod, Marlon, Judi Saluria.
GOL: 0-1 (17’) Pinero Rolandod, 1-1 (67’pen) Ferril Hattu, 2-1 (87’)Rocky Puttiray

Indonesia-Singapura (0-0(4-2) Penalti* Semifinal
(Manila, Rizal Memorial Stadium – 02.12.1991)
Indonesia: Eddy Harto(GK) , Robby Darwis/Kashartadi,Ferril Hattu,Sudirman,Toyo Haryono,Herri
Setiawan,Yusuf Ekodono/Heriansyah,Maman Suryaman,Widodo C Putro, Rocky Puttiray, Perri Sandria.
Coach :Anatoly F.Polosin
Singapore : David Lee(GK), Saadi Sukor Mohd, Fandi Ahmad / D Tookijan, Abu Samah Borhan, Abdullah
Borhan, Nazri Nasir Mohd, Malek Awab, Abdullah Noor, Patmanathan, Zulkifli Kartoyoho, Hasnim Haron.

Indonesia-Thailand(0-0,(4-3) Penalti Final.
(Manila, Rizal Memorial Stadium – 04.12.1991)
Indonesia: Eddy Harto (GK), Salahuddin/Heriansyah,Robby Darwis,Ferril Hattu,Herri Setiawan,Toyo Haryono,Maman Suryaman,Yusuf Ekodono,Widodo C Putro, Perri Sandria.
Coach :Anatoly F.Polosin
Thailand :Chayong K (GK), Suksok K, Vorawan C / Vorawuth S, Vitoon K, Suttin C/ Prapan K, Attapon B, Sumet A, Ronachai S, Pairot P, Nathee T, Surasak T.

Rabu, 10 Februari 2010

Herry Kiswanto Libero satu kartu kuning

LAHIR di Aceh 45 tahun lalu, sejak kecil Herry Kiswanto sudah gemar sepak bola. Apalagi setelah kembali ke daerah asal atau kampung halamannya di Ciamis, Jawa Barat, di dekat rumahnya ada lapangan sepak bola yang menjadi pelampiasan kegiatan olahraga paling digemari di Tanah Air.

Dari berlatih seadanya Herry kemudian masuk klub Tornado. Sesudah itu, dia melanjutkan berlatih di klub PTPN XIII setamat Sekolah Menengah Atas. Karena sepak bola mulai mendarah-daging, sambil menuntut ilmu di Akademi Industri dan Niaga di Bandung, ayah dua anak dari istri tercinta Tuti Hariati ini, masuk klub UNI di Kota Kembang. “Bermain sambil kerja di Bank Rakyat Indonesia atas bantuan pengurus Persib Bandung,” kenangnya

Ketika itu, walau prestasi belum begitu menanjak, tokoh sepak bola nasional asal Medan, almarhum TD Pardede dengan klub semi prof Pardedetex sudah meliriknya. Melalui putranya Johny Pardede, TD Pardede yang akrab dipanggil “Pak Katua”, Herry (sebagaimana panggilan akrabnya-Red) diboyong ke Medan. Dilatih antara lain oleh pelatih asal Belanda, Frans van Balkom dan Fred Kohber asal Jerman, Herry pun makin matang.

“Dari situlah kemudian saya masuk skuad tim nasional, tepatnya sejak tahun 1979 sampai 1993,” kata Herry. Awalnya, Herry bermain di posisi gelandang. Tokoh sepak bola Sumatera Utara, Kamaruddin Panggabean (almarhum) menyarankan Herry sebagai libero. Posisi ini memang cukup pas untuknya, bukan hanya di Pardedetex tetapi juga di tim nasional yang sempat menjuarai SEA Games 1987 Jakarta dan juara sub grup Pra Piala Dunia.

Diterpa di lingkungan Pardedetex di Medan selama hampir empat tahun, Herry yang dulu dikenal enggan bermain keras, sekarang tidak lagi mentabukan hal itu. Tetapi segera digaris-bawahi, keras dalam arti tetap dalam batas-batas sportivitas. Dan yang paling dia tabukan yaitu membuat cedera lawan.

Tahun 1993, Herry mulai memasuki masa “pensiun”. Namun karena sepak bola terus merangsangnya, dia lalu berkiprah di klub Bandung Raya sampai klub ini menjadi juara Liga tahun 1996. Dalam karirnya ia hanya pernah mendapat sekali kartu kuning yaitu ketika membela Krama Yudha Tiga Berlian melawan Pelita Jaya di era Galatama.

Selama 17 tahun, Herry Kiswanto menekuni sepak bola.Di lapangan dia berposisi sebagai libero. Tugas itu semakin berat karena dia juga sering dipercaya sebagai kapten tim. Istimewanya, selama perjalanan karir dia, hampir tak pernah ternoda oleh kartu kuning apalagi kartu merah.

Herkis -sapaan karib Herry Kiswanto- hanya pernah mendapat sekali kartu kuning. Torehan itu saja sudah membuatnya menyesal. Maklum, saat membela tim nasional yang melibatkan wasit internasional dan permainan keras, dia tak sekali pun diganjar kartu peringatan.
Dia terkena kartu kuning saat membela klub di era Galatama. Saat itu dia membela Kramayudha Tiga Berlian yang ditantang Pelita Jaya di Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

“Saya sudah berusaha untuk tak akan pernah mendapatkan kartu kuning, tapi kok ya pada waktu itu dapat juga. Saya sesali kejadian itu,” ungkap penyuka warna merah dan putih tersebut. Apalagi, kartu itu dituainya bukan karena pelanggaran langsung. Tapi, Herkis, yang menjadi kapten, protes keras kepada wasit karena memberikan keputusan cukup kontroversial bagi timnya. Wasit kurang yakin saat memutuskan gol lawan karena asisten wasit tak meniup peluit tanda terjadinya gol.

Nah, saat meminta keterangan, bukannya memberikan penjelasan, wasit malah ngomel tidak jelas. Herkis pun emosi dan terus memberikan klarifikasi kepada wasit. Bukannya mendapatkan penjelasan, wasit malah memberinya kartu kuning.

“Saat ini memang kondisinya berbeda. Saya dulu hanya berpikir bagaimana fokus bermain. Kalau ada pemain yang bandel, saya harus bisa mengontrol dia,” tutur Herkis menyangkut kunci ketenangannya di lapanganTak hanya di dalam lapangan. Herkis juga merupakan pribadi yang cukup tenang di luar lapangan. ‘’Papa itu lucu. Beliau tak pernah marah,” ujar Tania, anak keduanya.

Tuty, istri yang dinikahi Herkis pada 25 Desember 1980, juga memiliki penilaian serupa. Maka, sebagai istri, dia pun menyesuaikan dengan keluasan kesabaran Herkis. ‘’Kami sudah sering kecewa dengan beberapa pihak.Tapi, papa memilih untuk bersabar dan tak membuat persoalan itu menjadi perkara,” ujar Tuty.

Dia mencontohkan hadiah rumah yang diberikan PSSI sebagai apresiasi emas SEA Games 1987. Rumah itu tak pernah menjadi milik kedua pasangan tersebut. Kejadian lain, rumah Herkis kerap menjadi sasaran masyarakat jika timnas menuai kekalahan dari lawan.

Segala bentuk sampah tahu-tahu mampir ke teras rumah mereka. Kadang kalau sampai emosional pun, Tuty memilih menyimpannya sendiri.
Bahkan, Tuty pernah keguguran dua kali karena perilaku para penggemar timnas. ‘’Alhamdulliah, sekarang kami sudah bisa hidup normal,” ujar Tuty.

Setelah itulah Herry benar-benar pensiun sebagai pemain dan beralih menjadi pelatih dengan mengantungi sertifikat pelatih S-1. Setelah itu ia banyak melalang buana ke berbagai macam klub. Dan akhirnya ia pun sukses meloloskan klub Persmin Minahasa ke kompetisi Super Liga di musim 2007/2008 . Kemudian salah satu pemain legendaris yang biasa dipanggil "Akang" ini, dikontrak oleh klub Persiraja Banda Aceh sebagai pelatih kepala di kompetisi Divisi Utama untuk musim 2008/2009.

Menyusul terjadinya krisis internal terkait masalah pendanaan di tubuh Persiraja Banda Aceh, yang juga menimpa banyak klub sepak bola lainnya di tanah air, sejak berakhirnya putaran pertama kompetisi Divisi Utama, ia memutuskan mundur dari Persiraja Banda Aceh dan langsung diikat kontrak untuk menangani klub Persikab Bandung menggantikan pelatih Deni Syamsuddin yang baru didepak dari tim yang bermarkas di kota Soreang, Kabupaten Bandung itu.Terakhir menjadi asisten pelatih Persija Pusat, Herry yang sempat mepelatih tim sepak bola DKI Jakarta memposisikan sepak bola bukan sekadar olahraga tetapi juga seni. “Namanya juga permainan laki-laki, sepak bola boleh keras, tetapi lebih diutamakan teknik dan keterampilan,” ujarnya.

Pendapatnya tentang sepak bola nasional, yang bisa disebut masih jalan di tempat, “Ini antara lain karena ada pengurus yang masih dipengaruhi oleh hal-hal lain. Artinya, tidak 100 persen menumpahkan perhatiannya untuk memajukan cabang olahraga yang digemari dari desa sampai ke kota ini.” Malah Herry mensinyalir, ada di antara pengurus yang sengaja rebutan kursi atau kedudukan untuk maksud tertentu. Kalau sudah begitu, bagaimana sepak bola kita bisa maju.


Karir :
- 1979-1983: Pardedetex Medan
- 1983-1985: Yanita Utama
- 1985-1991: Kramayudha Tiga Berlian
- 1991-1993: Assyabaab Surabaya
- 1993-1996: Bandung Raya

Prestasi:
- Emas SEA Games 1987 di Jakarta
- Perak SEA Games 1983
- Perunggu SEA Games 1981, 1989
- Perunggu PON 1989 (DKI Jakarta)
- Perunggu Piala AFF 1984/1985
- Juara Sultan Hasanah Bolkiah 1986
- Runner-up Piala Kemerdekaan 1994
- Peringkat III Asian Club Championship Arab 1986

Karir Pelatih:
- 1997-2000: Asisten pelatih Tim Nasional
- 2000-2001: Pelatih PSBL Lampung
- 2002-2004: Asisten pelatih Persija Jakarta
- 2004-2005: Pelatih PSIS Semarang
- 2005-2006: Pelatih Persikabo Kab Bogor
- 2006-2007: Pelatih Persmin Minahasa, Pelatih Persiraja Banda Aceh
- 2007-2008 Pelatih Persikab Kab Bandung

Penghargaan:
- Penghargaan kelas III dari Menpora 1987
- Lencana perak dari PSSI 1989 (25 tahun lebih membela Timnas)
- Pemain terbaik kedua 1982-1983
- Sepatu emas 1986
- Pemain terbaik 1985

Perjuangan Terakhir Wiel Coerver

Timnas Pra Olimpiade 1976 akhirnya memang gagal menuju Montreal. Gagal berdiri sejajar dengan Tim Olimpide Indonesia ke Melbourne 1956 Tapi seorang pelatih bernama " Wiel Coerver" berhasil menegakkan fondasi baru dalam dunia persepakbolaan kita di saat itu.

Selama kehadiran Coerver, pergolakan dalam tubuh PSSI seolah tak pernah reda. Untuk membentuk team yang kuat ia ingin merombak sendi-sendi konven sionil ke arah modernisasi yang nampaknya tidak begitu ramah buat sementara pimpinan PSSI yang berkuasa sekarang. Baik atau buruk ia dengan jujur memperlihatkan kadarnya. Ia membentuk "Dewan Pemain" -- terdiri dari Iswadi, Risdianto, Junaedi, Oyong dan Ronny -- untuk bertindak atas nama para pemain dan cadangan dalam memperjuangkan perbaikan nasib. "Kedua kaki para main adalah periuk nasi hari ini dan jaminan mereka di hari tua", begitulah motto Coerver. Ia juga tidak sampai hati kalau anak asuhnya hanya mendapat begitu sedikit jika dibandingkan dengan bayaran yang ia peroleh. Coever selalu mengirang-ira pendapatan yang masuk dalam setiap pertandingan dan menanyakan berapa jumlah yang diterima para pemain. Sampai ada sementara Pengurus yang menuduhnya: memanjakan, merusak pemain dengan uang. Meskipun lebih bijak kalau pimpinan PSSI menjajagi ulah Coerver dulu sebelum kontrak diteken.

Tim Pre Olimpiade Indonesia dengan kegagalannya berhasil memenangkan dukungan moril masyarakat sepakbola. Tapi lebih penting dari itu adalah perjuangan mereka dalam hal perbaikan nasib, yang sangat menentukan hari esok sepakbola Nasional. Jikalau dulu orang mulai ragu menjadi pemain nasional, kini rasa bangga itu bangkit kembali. Coerver yakin angkatan muda sepakbola Indonesia akan berlomba-lomba menjadi pemain nasional. Asisten Coerver, Ilyas menyebutkan pada saat itu setiap kali menang mereka mendapat bonus Rp 70 ribu. seri 50 ribu dan kalah 25 ribu. Untuk pertandingan final mereka khusus "memaksa Bardosono (Ketua PSSI pada saat itu) meneken kontrak menang Rp 2,5 juta kalah Rp 1 juta. Perbuatan mereka nampak sewenang-wenang, meski jika diingat sebelumnya tak kurang pula mereka mengalami tindakan sewenang-wenang dari pimpinan PSSI. Untuk mengakhiri suasana"balas dendam" ini alangkah baik jika masyarakat sepakbola bersama pimpinan PSSI yang sekarang memikirkan pelembagaan dari semua pengalaman yang "positif' ini. Bahwasanya publik rela membayar untuk tontonan yang bermutu. Dan hasil pertandingan sepantasnya dikembalikan kepada para pemain dan pembinaan secara konkrit.

Coerver yang lalu pulang ke negeri Belanda karena kontraknya berakhir pad apertengahan Mei 1976. mengatakan "Semuanya tergantung pada tuan-tuan pimpinan PSSI", katanya sebagai ucapan perpisahan. "Saya merencanakan mengadakan kursus asisten pelatih dulu. Tapi nampaknya pimpinan PSSI belum siap dengan bahan-bahan yang saya minta distensil" Coerver sangat kagum dengan publik sepakbola Indonesia. "Tak pernah saya jumpai publik yang begitu solider dengan team nasionalnya, tapi juga obyektif', katanya pada masa lalu. Tapi untuk memulihkan kejayaan sepakbola Indonesia Ia membutuhkan banyak asisten pelatih. "Terlalu banyak pemain alam yang berbakat yang perlu dibina" Tapi ia pun tak kurang menyesali sikap pimpinan PSSI terhadap pelatihnya sendiri. "Mereka kurang mendapat jaminan hidup. Maka sebelum berangkat meninggalkan Jakarta, ia sempat mampir ke Ketua Umum pada saat itu, Bardosono. Konon antara lain untuk memperjuangkan bonus yang diterima pemain dapat dinikmai pula oleh asisten pelatih, pembantu umum, dokter dan masseur team. Biarlah semua pihak merasa senang, seperti halnya 120.000 penonton dengan besar hati menerima kenyataan kekalahan Tim Pra Olimpiade Indonesia. Karena apa boleh buat dalam turnamen yang baru usai itu tak ada "Juara Kembar"..

Selasa, 09 Februari 2010

Totalitas Bambang Nurdiansyah

Mengenali Bambang Nurdiansyah yang kelahiran Banjarmasin, 28 Desember 1959 tak begitu sulit. Apalagi bagi mereka yang mengenal wajahnya sejak masih jadi pemain sepakbola dulu, hingga kini wajahnya tak jauh berbeda. Belum ada kesan "tua" dari Bambang yang memiliki tinggi 170 cm dan bobot 68 kg ini.

Ketika tokoh sepakbola H Sjarnubi Said mencapai puncak kejayaannya, Bambang kemudian direkrut kesebelasan Krama Yudha Tiga Berlian (klub milik Sjarnubi) dan sempat bermain dalam satu musim kompetisi pada 1985-1986. Tetapi kepiawaian dan kekuatan tendangan yang dimiliki sosok yang juga hobi balap mobil ini, cukup menggoda manajemen pengurus klub Pelita Jaya Jakarta. Bambang sempat mangkal selama enam tahun (1986-1992) dalam Pelita Jaya yang ketika itu sebagai klub elit dalam kompetisi Galatama karena sempat bertengger sebagai juara selama tiga kali. Dan karirnya sebagai pemain terakhir kali terdampar di kesebelasan Putra Samarinda pada 1983Sebagai seorang pemain, anak dari pasangan M Sidik (almarhum) dan Nursehan ini memulai karirnya di kesebelasan Arseto Solo pada 1978-1982. Ia kemudian hijrah ke Tunas Inti (1982-1983), musim berikutnya pindah ke Yanita Utama (1983-1985).
Bambang memang punya tekad dan cita-cita mulia untuk memajukan persepakbolaan, khususnya dimulai dari generasi muda. Tawaran kursi sebagai pelatih kepala dari beberapa tim Divisi Utama pun ditolaknya, hanya demi memikirkan nasib para pemain muda yang menjadi perhatian PSSI Pusat.

Menyoal kendala yang dihadapi persepakbolaan nasional, Bambang kembali menyoroti persoalan klasik, yakni minimnya sarana dan prasarana di Indonesia. Tetapi lebih dari itu, dia menuntut agar segala sesuatunya dapat diperlakukan secara transparan yang dimaksudkan; dibina oleh pelatih yang benar disertai sarana yang cukup, wadah kompetisi dan pendukung lainnya.Persepakbolaan Indonesia di Asia sebenarnya pernah masuk dalam deretan 12 besar seperti yang terjadi pada Piala Asia 1996. Menyaksikan tim-tim yang tampil di Asian Games XIV, Bambang pun sangat prihatin, mengapa Indonesia sampai tak mampu ambil bagian hanya karena polemik dan pertentangan kebijakan.

"Padahal, kondisi Indonesia tak lebih buruk dibanding negara-negara seperti Palestina atau Afghanistan. Dengan tidak ikut Asian Games atau banyak turnamen resmi internasional, justru semakin mempurukkan sepakbola kita. Dan negara-negara seperti Thailand, Korea, China,dan Jepang semakin jauh meninggalkan kita," kata Bambang NurdiansyahAnak pertama dari lima bersaudara ini, sejak tahun 2000 aktif sebagai seorang pelatih sepakbola, diawali dengan tim Porda Riau dan berhasil mengantarkan tim itu sebagai juara.

Pada tahun yang sama dipercaya para wartawan unit peliput sepakbola di Jakarta mengarsiteki tim SIWO DKI Jaya, berhasil mengantarkan tim ini juara dalam turnamen se-Jawa-Bali.

Karir Bambang terus menanjak. Pada tahun berikutnya dia yang sudah mengantongi sertifikat pelatih C, B, A, S3, S2, dan S1 ditunjuk PSSI menjadi pelatih nasional tim putri di SEA Games XXI Kuala Lumpur, tahun 2001. Namun ketika itu, Bambang memang gagal membawa timnya sebagai yang terbaik, kecuali berhasil membawa ke semifinal (empat besar).

Kepercayaan PSSI terus berkembang, pada tahun berikutnya (2002), Bambang menjadi arsitek Timnas PSSI Pra Piala Asia U-20 yang digelar di Bangkok. Tetapi kali ini kegagalan "menyambangi" sosok ayah tiga anak ini, timnya tersisih di babak penyisihan.

Masih pada tahun yang sama (2002), Bambang berhasil mengukir puncak prestasinya dengan mengantarkan Timnas PSSI U-21 sebagai juara Asia Tenggara dalam turnamen Piala Hassanal Bolkiah yang digelar di Brunei Darussalam pada Agustus 2002.

Persib vs PSV Eindhoven 1988

Tim legendaris asal Belanda, PSV Eindhoven pada Maret 1988 pernah berkunjung ke Indonesia dalam rangka tur Asia bersama Phillips. Dalam turnya ini, PSV Eindhoven dihadapkan dengan beberapa tim papan atas Indonesia. PERSIB, yang saat itu menjadi tim yang paling bergengsi di tanah air diberi kesempatan melayani PSV Eindhoven dalam friendly match di Stadion Siliwangi.

Yang menarik perhatian, saat itu PSV dihuni pemain-pemain kelas dunia. Sebut saja Ruud Gullit, Ronald Koeman, Wim Kieft, dan Eric Gerets yang pernah menjadi kapten timnas Belgia. Bahkan Ruud Gullit saat itu tengah dipinang tim asal Italia AC Milan dan tercatat sebagai pemecah rekor pemain termahal dunia.

PERSIB, yang pada 1986 menjuarai kompetisi perserikatan harus berjuang keras meladeni Eric Gerets dkk. Maklum para punggawa Maung Bandung kalah segalanya, secara teknis maupun postur badan. Seperti umumnya orang Asia, para pemain PERSIB kalah tinggi dibanding pemain PSV.

“Kami selalu ketinggalan langkah dari para pemain PERSIB. Bisa diibaratkan, satu langkah Ruud Gullit sebanding dengan tiga langkah pemain PERSIB. Tapi saya bangga bisa berhadapan dengan Gullit, setidaknya saya telah berusaha untuk menghadangnya sebelum memasuki daerah pertahanan PERSIB,” ujar Adeng Hudaya, libero sekaligus kapten Maung Bandung.

Bisa ditebak, Ruud Gullit Cs. pun menang mudah. Hasil akhir dari pertandingan ini 4-0 untuk PSV Eindhoven. Gol-gol yang dijaringkan PSV umumnya hasil shooting jarak jauh. Keempat gol PSV Eindhoven dijaringkan oleh Willy van de Kerkhof (1), Eric Gerets (1), dan Ruud Gullit (2). Tim PERSIB yang saat itu ditukangi oleh Nandar Iskandar dan Indra Tohir menggunakan formasi 4-3-3.

“Para pemain Eindhoven memiliki tendangan yang keras dan akurat. Man to man marking yang dijalankan pemain PERSIB tidak bisa berjalan optimal, ini dikarenakan postur tubuh yang beda jauh. Bahkan di-body charge pun malahan kita yang tersungkur,” kenang Adeng.
Sukowiyono,gelandang yang saat itu tampil sebagai starter PERSIB mengatakan formasi yang diterapkan pelatih sebenarnya efektif untuk mengimbangi pergerakan Ruud Gullit c.s. namun harus diakui pemain PERSIB kalah fisik.

Walaupun kalah kelas, pemain PERSIB tidak gentar. Adeng Hudaya dkk. sangat bersemangat memberikan perlawanan kepada lawannya. Buktinya, setelah membobol gawang PERSIB empat kali di babak pertama, usai turun minum PSV tak bisa menambah gol.
“Terlepas dari hasil akhir, bagi saya pertandingan ini jadi pengalaman berharga bagi kami, kapan lagi bisa berhadapan dengan pemain kelas dunia seperti Ruud Gullit Cs.,”ungkap Suko.

Minta Diganti Gara-Gara Gullit
Duel Persib kontra PSV Eindhoven memang bak pertarungan antara David dengan Goliath, pasalnya sebagai tim amatir, Persib harus berhadapan lawan klub elit Liga Belanda yang juga disegani di pentas sepakbola Eropa. Tak heran hanyak kejadian lucu yang terjadi di lapangan hijau.
Pemain belakang PERSIB kocar-kacir menghadapi tekanan beruntun dari lawannya.Tendangan maupun sundulan kelas dunia yang amat bertenaga mengagetkan kiper PERSIB yang dijaga Wawan Hermawan. Baru separuh babak gawang PERSIB sudah kemasukan empat gol.

“Wawan Hermawan sempat menahan bola yang ditendang keras Ruud Gullit. Lucunya, saat Wawan mencoba menahan laju bola malahan badan Wawan yang terbawa masuk ke gawang PERSIB,” kata Adeng sambil tertawa. Senada dengan Adeng, Dede Rosadi yang saat itu turut andil membela Maung Bandung berkisah, para pemain Eindhoven tidak hanya memiliki tendangan yang keras, heading-nya pun membuat kiper Wawan tercengang. “Saking kerasnya heading Ruud Gullit, membuat Wawan ciut. Ia bilang sundulannya saja keras apalagi tendangannya. Di babak kedua Wawan meminta kepada pelatih untuk diganti oleh kiper cadangan yang saat itu dipercayakan kepada Erik Ibrahim,” ujar Dede mengenang..

Indonesia juara Piala ASIA Junior 1961

Tak ada salahnya kalau kita mengenang kembali kehebatan timnas ita di masa lalu.Dengan menyimak kisah perjalanan tim nasional Indonesia Junior ketika juara pada Piala Asia Junior untuk pertama kalinya (tahun 1961). Pada masa inilah Indonesia merebut Abdul Rachman Gold Cup.

Kisah berawal pada 18 Februari 1961 ketika 27 pemain seleksi diikutsertakan dalam pelatihan di Lapangan Kebayoran, Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan. Mereka dibina oleh Tony Pogaknic (pelatih timnas Indonesia Senior), Djamiat Dhalhar, dan Maulwi Saelan. Singkat cerita, rombongan timnas Indonesia pun berangkat menuju Bangkok, Muangthai (Thailand), dengan menggunakan pesawat “Borobudur” Garuda Indonesia Airways.

Pada Piala Asia Junior 1961, Indonesia membawa 18 pemainnya yaitu Hardi Purnomo, Faisal Jusuf, Sonny Sandra, Idris Mappakaja, Rasjid Dahlan, Ipong, Agam, Djumadio, Andjiek Alinurdin, Bob Hippy, Kuswanadji, Pirngadi, Suwardjo, Bogor, Saptono, Hussein, Suparno, dan Willem Souw.

Luar biasa! Indonesia pun berhasil meraih gelar juara (bersama Burma) dalam Piala Asia Junior 1961 di Bangkok, Muangthai. Inilah hasil pertandingan yang dilakukan Indonesia: vs Vietnam Selatan 2-0, Jepang 2-1, Korea Selatan 2-2, Singapura 1-1, dan Burma 0-0.

Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, timnas Indonesia Junior asuhan Djamiat Dhalhar (pelatih) itu melakukan pertandingan persahabatan (friendly games) melawan Malaya (kini, Malaysia) dan Singapura. Hasilnya, menang 4-2 atas Malaya dan 4-3 atas Singapura Selection.

Di Jakarta (Indonesia), rombongan disambut Ketua Umum PSSI Abdul Wahab Djojohadikoesoemo yang langsung mengalungkan rangkaian bunga kepada Bob Hippy, sang topscorer.

Peringkat Piala Asia Junior 1959, 1960, dan 1961:

Piala Asia Junior 1959:

(1) Korea Selatan, (2) Malaya, (3) Jepang, (4) Hongkong, (5) Muangthai, (6) Burma, (7) Singapura, (8) Srilangka, dan (9) Filipina.

Piala Asia Junior 1960:

(1) Korea Selatan, (2) Malaya, (3) Jepang, (4) Indonesia, (5) Burma, (6) Muangthai, (7) Filipina, (8) Singapura.

Piala Asia Junior 1961:

(1) dan (2) Indonesia/Burma (juara bersama), (3) Muangthai, (4) Korea Selatan, (5) Malaya, (6) Vietnam Selatan, (7) Singapura, (8) Srilangka, (9) Jepang, dan (10) Taiwan.

Ferril Raymond Hattu kapten Timnas SEA Games 1991


Indonesia sempat disebut sebagai raksasa sepak bola di kawasan Asia Tenggara. Tapi, seiring bergulirnya waktu, pamor itu pun memudar. Negeri Jamrud Khatulistiwa ini pun merasakan susahnya menjadi yang terbaik di regional sendiri. Kali terakhir, kebanggaan itu terasa pada SEA Games 1991.

Datang sebagai tim yang tidak diunggulkan, Indonesia mampu meraih emas dengan mengalahkan Thailand melalui drama adu penalti. Sayang, capaian emas tersebut gagal diulangi hingga SEA Games Thailand 2007.

Salah satu sosok yang tidak bisa dilupakan pada SEA Games 1991, selain pelatih asal Uni Soviet Anatoly Polosin, adalah sang kapten Ferril Raymond Hattu. Ke mana dia sekarang?

Ya, setelah memutuskan mundur dari timnas pada 1992, kabar dia jarang terdengar. Jabatan pelatih Petrokimia Putra Gresik pernah dia sandang. Tapi, itu pun tidak bertahan lama. ''Kesibukan sehari-hari sebagai karyawan Petrokimia Gresik memang menjadi alasan utama saya tidak lagi berada di bola,'' kata Ferril

Namun, sebenarnya dia masih menyimpan minat untuk kembali berkiprah dalam sepak bola. Apalagi, dia pernah menyandang ban kapten timnas Indonesia selama kurun enam tahun (1986-1992). Hanya, selain karir sebagai karyawan, Ferril tidak memungkiri bahwa dirinya masih merasa prihatin terhadap perkembangan sepak bola Indonesia. ''Banyak yang harus dibenahi pada sisi sepak bola di negeri ini,'' ungkapnya.

Jika itu dilakukan, Ferril optimistis Indonesia akan kembali disegani di sepak bola Asia, seperti era 1970 dan 1980-an. Prestasi itu, kata bapak tiga anak tersebut, tidak lepas dari model pembinaan yang cukup baik.Ironisnya, prestasi Jepang saat ini jauh di atas Merah Putih. Ferril lantas menyayangkan kebijakan menggabungkan kompetisi Galatama dengan Perserikatan pada era 1990-an. ''Dengan penggabungan itu, semua menjadi rancu. Mana yang amatir dan mana yang profesional,'' katanya.

Menurut dia, tim-tim perserikatan seperti PSM Makassar, Persebaya Surabaya, Persija Jakarta, dan Persema Malang seharusnya lebih intens menjalankan pembinaan. ''Kalaupun berkompetisi, cukup dengan sesama perserikatan,'' jelasnya.

Tidak seperti saat ini, tim-tim seperti Persebaya harus bingung mencari nama seperti Surabaya Muda dalam ajang Divisi III Regional Jatim. Sebab, nama Persebaya telanjur digunakan tim yang saat ini berlaga di Divisi Utama.

Di sisi lain, tim-tim Galatama idealnya tetap berjuang dengan cirinya sebagai tim swasta tanpa embel-embel APBD. ''Kalaupun nanti mereka kolaps, biarkan hukum alam yang menyeleksi,'' tegasnya.

Jika ternyata ada yang bubar atau pailit, toh selalu ada konsekuensi yang harus ditanggung. Setidaknya, lanjut dia, gairah menggelindingkan roda sepak bola profesional tetap ada.

Dia lebih mencermati penggabungan kompetisi yang ada saat ini sebagai upaya untuk tetap memarakkan kompetisi di Indonesia. Pria yang mengidolakan mantan pelatih nasional Sinyo Aliandoe sebagai arsitek tim tersebut juga mengamini bahwa kompetisi reguler memang marak setiap tahun.

Tak jarang perhelatan sepak bola di Indonesia menjadi salah satu even primadona masyarakat. ''Tapi, tidak ada prestasi timnas yang seharusnya menjadi muara kompetisi itu,'' lanjut pria yang semasa aktif bermain berposisi sebagai pemain belakang tersebut.

Dari kondisi tersebut, Ferril lantas menyorot sistem kerja organisasi yang menangani sepak bola tanah air kurang berjalan sebagaimana mestinya. Begitu pula dengan tim-tim di Indonesia.

Nah, kondisi itulah yang kemudian menjadi awal kehidupan sepak bola yang selalu menjadi korban. Sebab, kelemahan tersebut lantas menjadi celah bagi sebagian pihak guna memanfaatkan sepak bola untuk kepentingan di luar olahraga tersebut.

Karena itu, dia berharap sistem kerja organisasi yang berkecimpung dalam sepak bola membenahi kinerjanya. ''Sistem kerja mereka harus shuttle,'' ujarnya. Dengan demikian, lanjut dia, kondisi tersebut akan banyak membantu perkembangan sepak bola Indonesia.

DATA
Lahir : 9 Agustus 1962

Karir Klub:
1976-1979 : Harapan Budi Setiawan (HBS), klub internal Persebaya
1980 : Niac Mitra
1980 : Tim Pra-PON Jatim
1980-1983 : Harapan Budi Setiawan (HBS), klub internal Persebaya
1983 : Persebaya
1983-1985 : Niac Mitra
1985-1995 : Petrokimia Gresik
1985 : Tim PON Jatim Jakarta
1989 : Tim PON Jatim di Jakarta (Runner-up)
Karir Timnas
1984-1992




Senin, 08 Februari 2010

Ketabahan Yeyen Tumena

Yeyen Tumena tak akan pernah melupakan Stadion Jeque Zayed. Stadion megah di jantung Kota Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), itu menyisakan kenangan manis ketika kariernya harus "terhenti" sejenak. Yeyen menderita cedera parah ketika berbenturan dengan kapten tim UEA, Adnan al-Talyani, di putaran final Piala Asia 1996. langkah tim nasional yang ditukangi Danurwindo dihentikan tim tuan rumah 2-0 dan Yeyen terkapar sebelum berakhir."Saya tidak bisa bangun. Saya mengalami cedera parah pada lutut," kata Yeyen mencoba mengenang.

Peristiwa yang membuat hatinya ikut menangis itu terjadi pada 10 Desember 1996 sekaligus mengakhiri musim semi Yeyen sebagai pemain nasional. Sepanjang tahun itu, Yeyen--lahir di Padang, 16 Mei 1976--yang tergolong sebagai pemain muda, sudah diikutsertakan dalam tim yang bermateri pemain-pemain senior, sebut saja Robby Darwis, Fachri Husaini, dan Jaya Hartono. Setelah memperkuat tim nasional ke Piala Tiger, Yeyen ikut tim nasional ke berbagai pertandingan internasional ke Eropa Timur. Yeyen, bersama Kurniawan Dwi Julianto, adalah salah satu alumnus Primavera, Italia. Proyek yang diprakarsai Nirwan D. Bakrie ini merupakan pelatihan bagi pemain-pemain muda Indonesia.

Dari Abu Dhabi, Yeyen harus menghadapi meja operasi guna menyembuhkan cederanya. Banyak yang menyangka karier sepak bolanya akan berhenti. Namun, Yeyen bertekad membalikkan dugaan banyak orang yang begitu pesimistis dengan kondisi cederanya. Kemudian Yeyen menjalani fisioterapi.

"Saya sempat merasa stres karena tidak bisa melihat lapangan hijau selama delapan bulan," katanya. Namun, ia bersyukur memiliki keluarga yang sangat mendukung. Keluargalah yang mengeluarkannya dari masa-masa gelap saat cedera.

Yeyen mengawali karier sebagai pemain dari lapangan sepak bola Kelapa Tujuh kompleks karyawan PT Semen Padang. Yeyen kecil, setiap pulang sekolah, pasti mampir ke lapangan tempat para pemain PSP Padang berlatih. Di sana, hampir setiap hari, dia begitu menikmati para pemain bayaran itu berlatih hingga suatu hari Suhatman Iman, pelatih tim Urang Awak itu, mengajaknya bermain. "Masih dengan seragam sekolah, saya mendapat pelajaran bagaimana cara menendang bola," kata Yeyen.

Kepiawaiannya mengolah bola membuat manajemen PSP kepincut dan menariknya bergabung di tim Pratama Semen Padang. Di usia 16 tahun, Yeyen sudah dipercaya menjadi tim pelapis PSP Senior dan katanya, "Padahal saya masih SMP."Dari sini Yeyen kemudian bergabung dengan tim nasional pelajar. Pemain yang kemudian menempati posisi sebagai bek ini ikut kejuaraan pelajar di Sri Lanka Arafura Game di Perth, Australia.

Sepulang dari Negeri Kanguru tersebut, ia mengikuti seleksi pemain yang dikirim ke Italia. "Waktu itu saya hanya dibekali uang saku Rp 100 ribu dan tiket pesawat untuk tiba di Sawangan tempat seleksi digelar," katanya. Yeyen lolos ke Primavera, yang kemudian mengantarnya ke tim nasional senior.

Setelah beristirahat panjang selama hampir 12 bulan, Yeyen kembali ke lapangan sepak bola. Yeyen kemudian bergabung dengan PSM Makassar dengan gaji Rp 2 juta setiap bulan. Selanjutnya Yeyen bergabung dengan sejumlah klub, di antaranya Persija Jakarta dan PSMS Medan. Di sejumlah klub ini, karier Yeyen tak begitu moncer--jika tak boleh dikatakan semakin menurun.

Merasa karirnya makin menurun di kacah sepakbola, Yeyen kemudian banting stir berkiprah di Futsal. Ia pun bersama beberapa mantan pemain nasional seperti Listyanto Rahardjo, Vennart Hutabarat, Stenly Mamuaya, Komang Adnyana dan Paulus Krey mewakili kejuaran Futsal Asia di Jakarta tahun 2004.

Setelah 22 tahun berkiprah sebagai pemain, pada 2007, Yeyen memutuskan bermain di belakang layar. Bersama sahabat-sahabatnya, di antaranya Herman Ago, dia menekuni dunia event organizer khusus acara-acara olahraga, terutama sepak bola.

Penampilan Yeyen yang mulai berbisnis ini terkadang jauh berbeda ketika dia berada di lapangan. Dia harus tampil beda. Bersih, rapi, dan wangi. "Keputusan beralih profesi ini juga atas restu keluarga," katanya.

Ada satu cerita yang selalu membuat Yeyen tersenyum bila cerita itu kembali dibeberkan. Cerita itu adalah cerita ketika dia masih kecil. Karena hampir setiap hari bermain sepak bola, ayahnya sering kali dibuat jengkel. "Setiap bulan, ayah saya harus membeli sepatu baru untuk saya," katanya. Ayahnya membeli sepatu baru lantaran sepatu yang dia pakai selalu jebol dipakai bermain bola.

Cerita sang ayah membelikan sepatu setiap bulan ini terhenti ketika Yeyen bergabung di Semen Padang Pratama dan sudah mendapat bayaran Rp 25 ribu. Yeyen tidak lagi meminta sepatu baru kepada ayahnya. "Saya bisa beli sepatu bola yang lumayan bagus, bahkan bisa menyisakan Rp 5.000 untuk orang tua," ujarnya.

Saat menjadi pemain sepak bola profesional, Yeyen, yang sudah bisa menopang kehidupan keluarganya, tidak perlu bingung bila harus membeli sepatu setiap bulan. "Ayah saya bilang, 'Tidak sia-sia saya membelikan kamu sepatu setiap bulan,'" kata Yeyen.

Meskipun demikian, kejadian itu masih menjadi bahan guyonan di dalam keluarganya. Sang kakak, yang memang terkenal jail, sering meledeknya dengan meminta sang ayah membelikan sepatu untuk Yeyen setiap kali mereka bertemu dalam pertemuan keluarga besar. "Ayah saya cuma bilang, 'Dia sudah bisa beli sepatu sendiri kok, yang bagus pula,'" katanya menirukan sang ayah.

BIODATA

Tempat tanggal lahir : Padang 16 Mei 1976

  • Karir Club :
  • PSM Makassar (1995-1999)
  • Persikota Tangerang (1999-2001)
  • Perseden Denpasar (2002-2003)
  • PSMS Medan (2005)
  • Persija Jakarta (2006)
  • Persma Manado (2007)
  • Karir Timnas :
  • PSSI Primamavera (Italia)
  • Timnas Pelajar Asia
  • Timnas Piala Tiger Singapura
  • Timnas Pra Piala Asia Malaysia
  • Timnas Piala Asia Abu Dhaby
  • Timnas FUTSAL Piala Asia
  • Karir Pelatih :
  • Pelatih Timnas U-16 Uzbekistan


Ricky Yacobi striker opurtunis Indonesia

Masa keemasan Ricky Yacob terjadi pada paruh kedua dekade 1980-an. Karir sepak bolanya banyak dihabiskan bersama klub Arseto Solo. Selain itu ia pernah memperkuat PSMS Medan sewaktu merebut Piala Suratin. Ia selalu bersaing dengan Bambang Nurdiansyah (Krama Yudha/Pelita Jaya) untuk memperebutkan satu tempat di tim nasional. Kini, Ricky Yacob lebih dikenal dengan nama Ricky Yacobi.

Selama bermain di Indoensia, Ricky tidak pernah membawa klubnya menjadi juara (Galatama/Liga Indonesia). Namun, ia sempat dua kali turut mempersembahkan medali emas SEA Games pada tahun 1987 Ricky sangat memesona penggila bola nasional dengan gayanya yang khas. Kurniawan Dwi Yulianto, salah satu penyerang terbnaik Indonesia yang bermain di era 1995-2005 sangat mengidolakannya. Ricky kerap dijuluki Paul Brietner Indonesia dan merupakan penyerang opurtunis yang mengandalkan kecepatan dalam bermain. Tampangnya yang lumayan ganteng dan rambutnya yang gondrong membuat Ricky begitu dikenal. Aksi puncakya terjadi di ajang Asian Games 1986 di Korea Selatan.

Ketika itu, tim nasional Indoensia hanya kalah 0-2 dari Arab Saudi dan bermain imbang 1-1 melawan Qatar. Tim Indonesia lalu menang 1-0 lawan Malaysia dan menang 4-3 (penalty) melawan Uni Emirat Arab (UEA). Ricky mengagetkan orang ketika ia mencetak gol sewaktu melawan UEA. Gol voli dengan tendangan langsung tanpa sempat menyentuh tanah, ia lesakan dari sisi kiri gawang UEA dalam jarak yang amat jauh.

Setelah itu, nama Ricky semakin beken setelah ia dibeli Klub Matsushita Jepang pada tahun 1988. Sayang, ia tak mampu beradaptasi dengan udara dingin di Jepang. Hanya empat pertandingan yang sempat ia ikuti—dengan satu gol sempat dicetak.RSSSF hanya mencatat bahwa Ricky sempat 31 kali memperkuat tim nasional sepanjang enam tahun (9-12-1985 sampai 11-6-1991). Hanya lima gol yang sempat dicatat. Tapi, sepertinya, jumlah gol itu tidak akurat. Ricky setidaknya mencetak 15 gol untuk tim nasional Indoensia di ajang resmi.

Kini, Ricky Yacobi memutuskan menjadi pelatih dengan membuka Sekolah Sepak Bola (SSB) Ricky Yacobi yang berlokasi di lapangan F, kompleks Senayan, Jakarta Pusat. Murid pilihannya adalah talenta berbakat berusia 7-12 tahun yang kurang mampu. Karenanya Ricky menjamin, murid-muridnya bebas iuran.

Ricky yakin sekolah sepak bola yang memiliki kurikulum teori kelas dan praktik itu akan langgeng meski tanpa iuran murid. Pasalnya, sekolah yang bernaung di bawah Yayasan Kelompok Pecinta Olahraga Sepak Bola Senayan (KPOSS) itu telah banyak menarik simpati donatur semisal American Express Foundation. Di samping itu, KPOSS telah menyewa lapangan F untuk jangka waktu lima tahun. Di PSSI, Ricky kemudian duduk menjadi direktur pembinaan usia muda PSSI.

Minggu, 07 Februari 2010

Narkoba di Sekitar Liga Indonesia

3 April 2000 Eri Irianto meninggal dunia akibat benturan dengan pemain asing PSIM Samson Kinga pada 2 April 2000. Seusai laga pada malam harinya Eri dibawa ke RS dr Soetomo, Surabaya namun meninggal dunia pada pukul 01.00 WIB. Rumor yang berkembang Eri meninggal akibat narkoba, namun hal itu dibantah sebab pemain terkena cedera pada otaknya.

11 April 2000 Pemain PSM Kuncoro dan Kurniawan Dwi Yulianto, serta bek Persebaya Mursyid Effedi dituduh menggunakan sabu di Hotel Wetan Surabaya pada pukul 13.00 WIB. Hal itu dilakukan sehari sebelum PSM bertarung di kandang Petrokimia Putra Gresik. Pada 28 April 2000, Kuncoro pun menjelaskan dan mengaku terkait perbuatannya itu di depan manajemen PSM. Dia lalu menjelaskan kalau dirinya dipaksa oleh Mursyid.

25 Mei 2003 Bek Arema Malang Agus Wiryo bersama seorang perempuan di Hotel Nugraha, Malang terjaring oleh petugas Unit Anti Narkoba Polresta Malang. Namun, bek sayap kanan yang kala itu baru berusia 20 tahun dilepas karena tidak ada bukti memberatkan. Selang dua hari Agus Wiryo mengundurkan diri dari klub berjuluk Singo Edan.

10 Juni 2003 Dua pemain PSS Sleman Dedi Setiawan (29 tahun) dan Dwi ”Ambon” Prasetyo (23 tahun) tertangkap mengkonsumsi narkoba jenis sabu-sabu di kamar 202 Hotel Istana Nelayan, Tangerang. Dua pemain itu melakukan hal itu bersama seorang anggota Slemania – suporter PSS – Kukuh Prihananto dan temannya Asri Haryadi. Namun, kedua pemain dilepas dengan jaminan akan melakukan rehabilisasi. Operasi penangkapan itu dilakukan Tim Reserse Narkotika Kepolisian Resor Metro (Polrestro) Tangerang.