Senin, 30 Agustus 2010

Agen Africa Binaan Liga Indonesia

Melihat kiprah para mantan pemain timnas Kamerun di Indonesia, mungkin nama Joles Onana, kalah top di bandingkan oleh Roger Milla dan Maboang Kessack. Tapi Denis Jules Onana yang lahir 12 Juni 1964 adalah pemain asal timnas Kamerun yang berkiprah paling lama di bumi Indonesia ini .

Onana adalah juga saudara Elie Onana. Awalnya Onana muda bermain untuk klub lokal Canon Yaounde, ia juga turut serta ambil bagian dalam Piala Dunia 1990, bermain 3 dari 5 pertandingan tim nasional sepak bola Kamerun pada waktu itu,. Prestasi terbesarnya salah satunya saat Singa Afrika mengalahkan Timnas Argentina 1-0. Masa emas Onana telah membawanya 56 kali memperkuat tim nasional sepak bola Kamerun.

Setelah masa emasnya hilang, ia lalu memutuskan untuk pensiun di tahun2005, langkahnya ia ambil setelah bermain di beberapa klub Camerron, Perancis. dan Pelita Jaya Krakatau Steel Indonesia. Setelah pensiun, ia memutuskan bekerja sebagai agen pemain di Asia, management Onana juga memiliki pemain-pemain top seperti pesepak bola Singapura Agu Casmir dan Pierre Njanka (Bek timnas Kamerun).

Kiprah kesuksesannya di Indonesia justru bukan saat menjadi pemain, tetapi saat dirinya menjadi Agen parta pemain Africa. Karena hanya ada tujuh agen pemain di Indonesia yang masuk daftar resmi FIFA. Salah satunya, Onana Jules Denis. Pria asal Kamerun ini bukan wajah baru di Indonesia. Sebelumnya, di juga pernah berkiprah sebagai pelatih di negeri ini.

Dia berharap agar website mengenai agen pemain-pemainya bisa dikonsumsi oleh klub-klub di Indonesia dan pasar yang lebih luas. “Makanya, saya menyajikan website ini dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bahasa lainnya menyusul,” tegasnya.

Nanti, lewat website itu, bapak dua anak tersebut ingin mendatangkan pemain luar negeri ke Indonesia. Selain itu, dia ingin bisa mengirimkan pemain Indonesia berlaga di negara-negara yang sepak bolanya lebih maju. Ya, Onana sangat ingin meluaskan sayap. Dia mengakui, bisnis tersebut amat menjanjikan hingga waktu mendatang. “Makanya, saya betah di sini. Indonesia telah menjadi negara kedua saya,” ujar mantan pemain Pelita Krakatau Steel itu.
Selain bisnis, Onana tidak memiliki alasan lain untuk bertahan di Indonesia. Sebab, istrinya, Madeleine, orang Kamerun pula. “Soal makanan dan lain-lain, tak ada persoalan. Sebab, saya termasuk orang yang mudah beradaptasi,” tutur Onana.

Malah, dua tahun terakhir ini, dia terpikir untuk menetap di Indonesia. “Sebelumnya, saya berniat tinggal setahun di sini, eh nambah lagi satu tahun dan nambah lagi satu tahun sesuai kontrak,” ujar jelas laki-laki yang biasa bermain sebagai pemain sayap dan defender saat masih menjadi pemain itu.
Tak terasa, Onana merumput di Indonesia selama 12 tahun. Karirnya pun berganti tiga kali. Yakni, pemain, pelatih, dan agen pemain.

Dia menilai, tantangan menjadi agen pemain begitu besar. Memang, keuntungannya cukup menggiurkan. Dia menerima komisi sepuluh persen dari setiap nilai kontrak kotor pemain selama satu tahun.Dalam setahun, Onana bisa meraup pendapatan sekitar Rp4 miliar. Musim lalu saja Onana sukses mendatangkan 39 pemain. Jika satu pemain dikontrak Rp800 juta, bisa dibayangkan jumlah yang didapat Onana. Pendapatannya kian besar jika sukses mengantarkan pemain dengan gaji tertinggi. Misalnya, Abanda Herman, yang kontraknya bersama Persija Jakarta menembus Rp1,3 miliar. Maka, Onana dapat meraup keuntungan miliaran rupiah.

Pendapatan itu dinilai Onana sangat layak. Maklum, tanggung jawab sebagai agen pemain lebih sulit daripada menjadi pemain atau pelatih. “Kondisi di Indonesia belum seratus persen oke. PSSI harus memperbaiki lebih banyak lagi peraturan untuk melindungi kepentingan berbagai pihak” ujarnya.

Masalah yang ditemui Onana selama menjadi agen di antaranya adalah sistem kontrak bagi para pemain di kompetisi sepak bola Indonesia belum menguntungkan pemain. Kontrak itu juga belum bisa memberikan kepastian kelangsungan kerja bagi pemain di kompetisi yang digulirkan PSSI.

Rabu, 25 Agustus 2010

Menunggu Kebangkitan sepakbola Serambi Mekah

Berbicara soal pembinaan usia dini, mengingatkan saya pada sejumlah anak-anak muda Aceh seumur remaja SMA yang sampai saat ini masih berada di Paraguay. Sejumlah anak-anak muda Aceh itu, sejak 8 Agustus tahun 2008 dikirim oleh Pemerintah Aceh ke sana dalam rangka menuntut ilmu sepakbola. Oleh sejumlah sejumlah koran lokal, mereka disebut sebagai Timnas Aceh.

Dalam skuad timnas Aceh yang dikirim ke Paraguay berjumlah tiga Puluh putra terbaik Aceh diantaranya, Muarif dari Langsa, Faumi Syah Reza dari Kabupaten Singkil, Satria Setiawan dari Aceh Utara, Zikrillah Tarmidi dari Aceh Utara, Zikri Akbar dari Bireuen, Rahmat Maulana dari Bireuen, Syahrijal dari Bireuen, T M Iqbal dari Bireuen, Zoel Fadli dari Pidie, Nendi Fadriansyah dari pidie, Ahmad Agung Fauzan dari Banda Aceh, Taufik Aksal dari Banda Aceh, Malem Budiman dari Banda Aceh, Dede Ramadhan dari Banda Aceh, Rivaldi dari Banda Aceh, Randi Rizki dari Aceh Besar, Andri dari Aceh Besar, Brayan dari Sabang, dll. Selama di Paraguay, Timnas Aceh saat ini ditangani Escuela Empoli FC.


Mengingat mereka masih harus menempuh pendidikan tingkat SMA, maka mereka juga didampingi oleh empat guru pendamping, yaitu Samsuar,S.Pd sebagai Manager, Mirza Afuadi,S.Pd, Mahdalena,S.Pd, dan Nasruddin,S.Pd.

Tentu saja salah satu tujuan penggiriman tim sepakbola Aceh ke Paraguay adalah untuk memajukan persepakbolaan Aceh. Menurut Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf yang dikutip beberapa media local bahwa suatu saat Aceh memiliki tim sepakbola yang tangguh, sehingga akan menjadi kiblat persepakbolaan di Tanah Air. Karena itu Pemerintah Provinsi Aceh telah mengalokasikan dana sekitar Rp45 miliar untuk mendanai pembinaan tim junior ke Paraguay selama tiga tahun. Bahkan dalam berita terakhir disebutkan masa latihan mereka yang seyoganya tiga tahun, akan diperpanjang satu tahun lagi.


Mengenai keadaan mereka selama di Paraguay, sebagaimana yang dilaporkan media local di Aceh, selama ini perkembangan Timnas Aceh sudah mengalami kemajuan. Bahkan beberapa kali mampu mengalahkan klub papan atas Liga Paraguayo seperti Cerro Porteno. Meskipun pada awal-awal tahun 2010 ini pernah terbersit kabar bahwa timnas Aceh pernah terlunta-lunta berkaitan masalah tempat tinggal dan konsumsi. Sehingga sempat ramai diprotes oleh orang tua mereka di Aceh. Namun hal itu sudah kembali di atasi setelah dibentuk tim khusus untuk menanggani masalah itu.


Melihat track record kesebelasan Paraguay selama piala dunia kali ini, memang membawa harapan tertentu kepada timnas di Aceh. Seperti yang kita saksikan Timnas Paraguay mampu berbuat banyak meskipun akhirnya dihentikan dapat dihentikan Spanyol untuk memperoleh satu tiket menuju babak semifinal.


Pertanyaannya adalah apakah gaya sepakbola Aceh ke depan akan seperti yang diperlihatkan oleh timnas Paraguay selama piala dunia itu? Jawabanya sangat tergantung pada kemampuan mereka yang sedang berlatih di Paraguay dalam mengadopsi gaya sepakbola di sana. Banyak yang berharap mereka mampu melakukan itu sehingga dapat membawa perubahan dalam dunia sepakbola kita.


Satu hal yang perlu dicatat, melihat perkembangan sepakbola kita selama ini yang belum dapat berbicara banyak banyak. Mungkin ini salah satu solusi, bagaimana setiap daerah mau mengirim atlet sepakbolanya untuk belajar di negeri orang. Tak perlu mengharapkan pada PSSI. Memang hasilnya perlu ada pembuktian, tetapi Aceh sudah mencoba melakukannya. AYO BANGKIT GARUDA-GARUDA MUDA SERAMBI MEKAH


Minggu, 01 Agustus 2010

Pijar Lampu UMS

Pecinta sepakbola nasional mengenal UMS sebagai salah satu klub sepakbola tertua di Jakarta. Banyak pemain ternama yang lahir, dibesarkan dan kemudian membawa nama baik klub ini ke mancanegara. Klub yang didirikan pada tahun 1905 ini memiliki sejumlah pemain yang melegenda, yang pada masanya pernah menjadi andalan di timnas Indonesia, dan sebagian diantaranya kini menjadi saksi hidup dari pasang surut perkembangan sepakbola nasional.

Beberapa nama bisa disebut, dari generasi pertama, misalnya, Him Tjiang, Djamiat Dhalhar, Kwee Kiat Sek, Chris Ong, Van der Vin, dan tentu saja almarhum Liem Sun Yu, yang lebih dikenal dengan nama drg. Endang Witarsa.

Beberapa pemain dari generasi kedua masih memiliki nama harum dan dikenal banyak orang, seperti Fan Tak Fong alias Hadi Mulyadi atau Mulyadi, Renny Salaki, Surya Lesmana, Kwee Tik Liong dan kiper Yudo Hadiyanto.

Masa keemasan UMS memang meredup seiring pudarnya kejayaan generasi kedua, atau ketika perkembangan zaman dan politik turut mempengaruhi minat dan rasa suka warga keturunan terhadap sepakbola. Padahal, para generasi tua UMS terus berusaha dan berjuang agar ada diantara warga keturunan yang menekuni sepakbola dan berlatih keras untuk menjadi pemain nasional. Sampai sekarang. Betapa pun, UMS menjadi contoh di mana pembauran memperoleh tempatnya secara layak..

"Sekarang kami banyak membina pemain-pemain dari kelompok usia dini, dan sebagian besar memang pribumi," kata Tek Fong, salah satu legenda hidup UMS.

Tek Fong sangat bangga ketika UMS kini mampu memodernisasi diri, terutama dengan pengadaan lampu penerangan di dalam stadion.

Lampu penerangan sebesar 18.000 watt itu diresmikan pemakaiannya pada Senin (26/7) malam, oleh pembina UMS Agum Gumelar, mantan ketua umum PSSI dan ketua umum KONI Pusat. Peresmian pemakaian lampu penerangan di dalam stadion UMS ini diwarnai penandatanganan prasasti oleh Agum Gumelar. Dalam sambutan singkatnya, Agum Gumelar antara lain mengutarakannya kebanggaannya bahwa UMS bisa bertahan dan eksis hingga usianya yang ke-105.

Lampu penerangan di dalam stadion klub Union Makes Strong (UMS) ini terpacak di enam tiang di sekeliling stadion, dengan masing-masing tiang memuat tiga lampau. Menurut keterangan Johannes Singgih, ketua umum klub UMS saat ini, dalam dua pekan kedepan akan ada penambahan enam lampu lagi untuk menggenapkan total dayanya menjadi 24.000 watt. Dia menyebutkan, biaya yang sudah dikeluarkan mencapai Rp 750-an juta.

"Ini patungan dari seluruh pengurus yayasan, simpatisan dan beberapa sumber lainnya," kata ketua UMS