Bosan!!! Itulah kata-kata saya melihat dan mengikuti perkembangan figur-figur ketua PSSI kita. Kenapa? Karena kebanyakan aroma politik bermain dan membubuhi figur PSSI 1 tersebut. Sebut saja dari ketua umum jaman Ali Sadikin (pada saat itu Gubernur DKI Jakarta), Kardono (orang dekat istana), Azwar Anas (mantan menteri menko kesra) hinggga sekarang Nurdin Halid (mantan tokoh kader GOLKAR yang sempat tekena kasus korupsi. Pertanyaannya adalah: Mengapa harus mereka???
Saya jadi teringat dengan tokoh-tokoh murni pesepakbola seperti Frans Beckenbauer yang pernah menjadi ketua komite eksekutif di UEFA,Dejan Savićević mantan bintang AC. Milan yang pada akhirnya menjadi president Football Association of Montenegro (FSCG) atau bahkan Michel Platini, sang legenda Perancis yang saat ini menjabat orang nomor 1 di federasi tertinggi Eropa, UEFA.
Apakah kita tidak memiliki orang-orang sepakbola yang bisa duduk sebagai orang nomor 1 di PSSI? Saya jadi teringat dengan sosok akrab alm. bung Ronny Patinassarany, yang terakhir kali di April tahun 2008 bertemu dengan saya. Beliau dengan nada yang lantang berkeluh kesah menceritakan kesemrawutan organisasi olahraga tertua ini.
Bahkan alm. bung Ronny pernah berujar bahwa sebenarnya dirinya pernah ditawari oleh bos Medco, Arifin Panigoro, untuk maju sebagai ketua umum, menjadi opponent dari Nurdin Halid. Alasannya, karena bung Ronny adalah pemain legendaris Indonesia dan sudah lama bergelut di organisasi PSSI. Tapi lagi-lagi bung Ronny menolak, ”Pikiran saya tidak kesitu, Rez! Saya lebih bangga untuk tetap berkonsentrasi di pembibitan usia dini, guna membentuk talenta-talenta pemain berbakat di seluruh nusantara.” Wah..sungguh mulia sekali visi dan misi bung Ronny ini, pikir saya.
Kemudian, selang beberapa waktu sudah, saya juga bertemu dengan Bapak pembibitan usia dini Indonesia, siapa lagi kalau bukan pak Bob Hippy. Tokoh yang saya panggil akrab om Bob ini sudah lama serius dalam membina pemain-pemain muda dengan didirikannya sekolah sepakbola ASIOPI.
Saya jadi teringat dengan tokoh-tokoh murni pesepakbola seperti Frans Beckenbauer yang pernah menjadi ketua komite eksekutif di UEFA,Dejan Savićević mantan bintang AC. Milan yang pada akhirnya menjadi president Football Association of Montenegro (FSCG) atau bahkan Michel Platini, sang legenda Perancis yang saat ini menjabat orang nomor 1 di federasi tertinggi Eropa, UEFA.
Apakah kita tidak memiliki orang-orang sepakbola yang bisa duduk sebagai orang nomor 1 di PSSI? Saya jadi teringat dengan sosok akrab alm. bung Ronny Patinassarany, yang terakhir kali di April tahun 2008 bertemu dengan saya. Beliau dengan nada yang lantang berkeluh kesah menceritakan kesemrawutan organisasi olahraga tertua ini.
Bahkan alm. bung Ronny pernah berujar bahwa sebenarnya dirinya pernah ditawari oleh bos Medco, Arifin Panigoro, untuk maju sebagai ketua umum, menjadi opponent dari Nurdin Halid. Alasannya, karena bung Ronny adalah pemain legendaris Indonesia dan sudah lama bergelut di organisasi PSSI. Tapi lagi-lagi bung Ronny menolak, ”Pikiran saya tidak kesitu, Rez! Saya lebih bangga untuk tetap berkonsentrasi di pembibitan usia dini, guna membentuk talenta-talenta pemain berbakat di seluruh nusantara.” Wah..sungguh mulia sekali visi dan misi bung Ronny ini, pikir saya.
Kemudian, selang beberapa waktu sudah, saya juga bertemu dengan Bapak pembibitan usia dini Indonesia, siapa lagi kalau bukan pak Bob Hippy. Tokoh yang saya panggil akrab om Bob ini sudah lama serius dalam membina pemain-pemain muda dengan didirikannya sekolah sepakbola ASIOPI.
Keseriusan Bob Hippy dalam membina pemain-pemain muda dilandasi oleh rasa kerinduannya dalam melihat prestasi tim nasional kita seperti masa lalu. Seperti ia dulu yang berangkat dan berhenti sebagai pemain junior.
Mungkin kebanyakan dari kita belum banyak yang tahu siapa tokoh Bob Hippy ini. Nah..mari kita ulas sedikit kisah dari sang lengenda sepakbola kita yang bernama Bob Hippy ini.
Bob mulai mengenal sepatu sepak bola ketika menjadi siswa SMPN III Manggarai. Pada mulanya, Bob kecil yang dulu tinggal di Kramat VII Jakarta Pusat ini tercatat sebagai siswa Merdeka Boys Football Association, yang saat itu berlatihan di Lapangan Banteng.
Karena kemahirannya dalam bermain si kulit bundar, Bob Hippy menjadi murid kesayangan Joel Lambert, yang dikenal dengan panggilan Si Bung, guru di sekolah anak gawang itu. Bob juga mempunyai kelebihan lainnya seperti bisa bermain di banyak posisi, baik sebagai striker, gelandang kanan atau bahkan bek kanan. Hal yang saat itu jarang dimiliki pemain seusianya.
Dari Lapangan Banteng, Bob akhirnya terpilih sebagai pemain Persija Jakarta. Di tim Macan Kemayoran ini, ia mengawalinya sebagai pemain cadangan. Karena banyaknya pemain-pemain hebat, Bob memerlukan waktu hingga 3 tahun untuk tampil sebagai pemain inti.
Berikut ini Komposisi pemain Persija Jakarta pada saat dekade 1955 sampai 1960an: Paidjo, Effendi, Yudo (GK), Albert, Amanimpujo, Mochtar, Nazar, Sutedjo, Achmad Nor, Liong Hiauw, Kiat Shek, Dirhamsyah, Djumadio, Djamhur,Fatah, Bakir, Sailan, Joop De Fretes, Salen dan Bob Hippy.
Kehebatan Bob Hippy di Persija tak luput dari perhatian timnas Junior Indonesia. Dan akhirnya ia dipanggil ke pelatihan tim nasional, yang dipersiapkan untuk berlaga di King's Cup Bangkok, Thailand. Pada tahun 1957, Bob bergabung bersama pemain–pemain junior handal lainya seperti Muhammad Basri (sekarang pelatih Persela), Pua San Liong (Januar Pribadi), Tan Liong Houw (Latif Haris Tanoto), dan Sulby (striker PERSEBAYA yang dijuluki ”MACAN ASIA”). Akhir kata, tim nasional yang berada di bawah komando Benu Hetman dan asisten pelatih Djamiaat Dhalhar itu menyabet peringkat ketiga.
Sepulang dari Bangkok, Bob Hippy dipanggil Tony Pogacnik, pelatih asal Yugoslavia untuk bergabung di tim nasional GARUDA. Tim ini dipersiapkan untuk mengikuti Merdeka Games 1960 di Kuala Lumpur, Malaysia. Di timnas GARUDA ini, Bob bergabung bersama pemain-pemain muda berbakat lainnya seperti Omo, Anjik Ali Nurdin, Sulby dan Ipong Silalahi.
Untuk menjaga kekompakan squad mudanya, Tony Poganick merencanakan sistem Pelatnas jangka panjang. Sistem pelatnas berjalan ini, dilangsungkan ke berbagai negara di Eropa Timur, seperti Rusia, Bulgaria, Rumania dan Cekoslovakia. Di negara-negara tersebut, tim nasional diuji coba dengan sejumlah klub dan tim nasional setempat.
Setelah dua tahun melakoni pelatnas berjalan, tim nasional berangkat menuju Malaysia. Pada turnamen itu, Indonesia meraih gelar juara setelah di final mengalahkan Korea Selatan 1-0. Dan gol tunggal Sulby, si macan Asia, adalah berkat buah umpan manis dari Bob Hippy. Kiper Korea tak berhasil menghalau bola dan lahirlah sebuah gol cantik. Kemenangan itu hanya berbuah kebanggaan. "Tak ada bonus seperti zaman sekarang," ujar cerita dari om Bob.
Setelah banyaknya kasus suap yang melanda sepakbola Indonesia, pada 1969 Bob berangkat ke Amerika. Di negeri Paman Sam itu, Bob tak hanya bergelut dengan buku-buku yang kelak membuatnya menjadi pintar. Ia juga tercatat sebagai pemain bola di kampusnya. Ia bertanding hingga ke Inggris, Spanyol, dan beberapa negara di Eropa. "Saya satu-satunya pemain Indonesia yang memperkuat Amerika," kata Bob. Karena itu, Bob dianugerahi Hall of Fame dari University of America.
Andai kata Bob Hippy pada saat itu masih bertahan di Indonesia, mungkin saja beliau sudah menjadi pemain yang lebih melegenda macam Ronny Patinassary atau Sutjipto Suntoro. Tapi sebuah pilihan hidup tetaplah sebuah pilihan, karena pada masa itu sepak bola Indonesia belum mencapai tahap profesional seperti saat ini, jadi banyak pertimbangan yang dipikirkan untuk seseorang menggantungkan hidupnya pada si kulit bundar.
Tidak banyak yang diperoleh Bob dari perjalanan sepak bolanya itu. Sekembalinya dari Amerika, Bob menjadi pengurus Persija Jakarta dan PSSI pada era Azwar Anas. Di sela-sela kesibukannya sebagai orang kantoran, Bob sempat menjadi ketua perkumpulan para pelatih Indonesia.
Dalam bincang-bincang saya dengan om Bob, beliau dengan jiwa menggebu-gebunya bercita-cita membangun squad tangguh Indonesia yang terdiri dari pemain muda. Memang hal ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Namun, jika hal itu dipupuk sejak dini, maka bukan tak mungkin dalam beberapa dekade ke depan, Indonesia sudah bisa menjadi salah satu kekuatan sepakbola di Asia, ujarnya.
Mungkin kebanyakan dari kita belum banyak yang tahu siapa tokoh Bob Hippy ini. Nah..mari kita ulas sedikit kisah dari sang lengenda sepakbola kita yang bernama Bob Hippy ini.
Bob mulai mengenal sepatu sepak bola ketika menjadi siswa SMPN III Manggarai. Pada mulanya, Bob kecil yang dulu tinggal di Kramat VII Jakarta Pusat ini tercatat sebagai siswa Merdeka Boys Football Association, yang saat itu berlatihan di Lapangan Banteng.
Karena kemahirannya dalam bermain si kulit bundar, Bob Hippy menjadi murid kesayangan Joel Lambert, yang dikenal dengan panggilan Si Bung, guru di sekolah anak gawang itu. Bob juga mempunyai kelebihan lainnya seperti bisa bermain di banyak posisi, baik sebagai striker, gelandang kanan atau bahkan bek kanan. Hal yang saat itu jarang dimiliki pemain seusianya.
Dari Lapangan Banteng, Bob akhirnya terpilih sebagai pemain Persija Jakarta. Di tim Macan Kemayoran ini, ia mengawalinya sebagai pemain cadangan. Karena banyaknya pemain-pemain hebat, Bob memerlukan waktu hingga 3 tahun untuk tampil sebagai pemain inti.
Berikut ini Komposisi pemain Persija Jakarta pada saat dekade 1955 sampai 1960an: Paidjo, Effendi, Yudo (GK), Albert, Amanimpujo, Mochtar, Nazar, Sutedjo, Achmad Nor, Liong Hiauw, Kiat Shek, Dirhamsyah, Djumadio, Djamhur,Fatah, Bakir, Sailan, Joop De Fretes, Salen dan Bob Hippy.
Kehebatan Bob Hippy di Persija tak luput dari perhatian timnas Junior Indonesia. Dan akhirnya ia dipanggil ke pelatihan tim nasional, yang dipersiapkan untuk berlaga di King's Cup Bangkok, Thailand. Pada tahun 1957, Bob bergabung bersama pemain–pemain junior handal lainya seperti Muhammad Basri (sekarang pelatih Persela), Pua San Liong (Januar Pribadi), Tan Liong Houw (Latif Haris Tanoto), dan Sulby (striker PERSEBAYA yang dijuluki ”MACAN ASIA”). Akhir kata, tim nasional yang berada di bawah komando Benu Hetman dan asisten pelatih Djamiaat Dhalhar itu menyabet peringkat ketiga.
Sepulang dari Bangkok, Bob Hippy dipanggil Tony Pogacnik, pelatih asal Yugoslavia untuk bergabung di tim nasional GARUDA. Tim ini dipersiapkan untuk mengikuti Merdeka Games 1960 di Kuala Lumpur, Malaysia. Di timnas GARUDA ini, Bob bergabung bersama pemain-pemain muda berbakat lainnya seperti Omo, Anjik Ali Nurdin, Sulby dan Ipong Silalahi.
Untuk menjaga kekompakan squad mudanya, Tony Poganick merencanakan sistem Pelatnas jangka panjang. Sistem pelatnas berjalan ini, dilangsungkan ke berbagai negara di Eropa Timur, seperti Rusia, Bulgaria, Rumania dan Cekoslovakia. Di negara-negara tersebut, tim nasional diuji coba dengan sejumlah klub dan tim nasional setempat.
Setelah dua tahun melakoni pelatnas berjalan, tim nasional berangkat menuju Malaysia. Pada turnamen itu, Indonesia meraih gelar juara setelah di final mengalahkan Korea Selatan 1-0. Dan gol tunggal Sulby, si macan Asia, adalah berkat buah umpan manis dari Bob Hippy. Kiper Korea tak berhasil menghalau bola dan lahirlah sebuah gol cantik. Kemenangan itu hanya berbuah kebanggaan. "Tak ada bonus seperti zaman sekarang," ujar cerita dari om Bob.
Setelah banyaknya kasus suap yang melanda sepakbola Indonesia, pada 1969 Bob berangkat ke Amerika. Di negeri Paman Sam itu, Bob tak hanya bergelut dengan buku-buku yang kelak membuatnya menjadi pintar. Ia juga tercatat sebagai pemain bola di kampusnya. Ia bertanding hingga ke Inggris, Spanyol, dan beberapa negara di Eropa. "Saya satu-satunya pemain Indonesia yang memperkuat Amerika," kata Bob. Karena itu, Bob dianugerahi Hall of Fame dari University of America.
Andai kata Bob Hippy pada saat itu masih bertahan di Indonesia, mungkin saja beliau sudah menjadi pemain yang lebih melegenda macam Ronny Patinassary atau Sutjipto Suntoro. Tapi sebuah pilihan hidup tetaplah sebuah pilihan, karena pada masa itu sepak bola Indonesia belum mencapai tahap profesional seperti saat ini, jadi banyak pertimbangan yang dipikirkan untuk seseorang menggantungkan hidupnya pada si kulit bundar.
Tidak banyak yang diperoleh Bob dari perjalanan sepak bolanya itu. Sekembalinya dari Amerika, Bob menjadi pengurus Persija Jakarta dan PSSI pada era Azwar Anas. Di sela-sela kesibukannya sebagai orang kantoran, Bob sempat menjadi ketua perkumpulan para pelatih Indonesia.
Dalam bincang-bincang saya dengan om Bob, beliau dengan jiwa menggebu-gebunya bercita-cita membangun squad tangguh Indonesia yang terdiri dari pemain muda. Memang hal ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Namun, jika hal itu dipupuk sejak dini, maka bukan tak mungkin dalam beberapa dekade ke depan, Indonesia sudah bisa menjadi salah satu kekuatan sepakbola di Asia, ujarnya.
Hal ini sudah dibuktikan dengan lahirnya calon striker muda Indonesia, Syamsir Alam. Samsir adalah jebolan terbaik binaan ASIOPI yang saat ini sedang berkompetisi di Uruguay. Mungkin apabila Samsir akan berkembang terus bebeberpa tahun mendatang, Samsir akan menjadi striker terbaik Indonesia bersama Irvin Museng (pemain nasional junior kita yang pernah bermain di Ajax junior).
Melihat om Bob dengan semangatnya untuk mengangkat sepakbola Indonesia, mengingatkan saya dengan tokoh-tohoh macam Platini, Beckenbauer dan Savićević selain mereka sukses dalam bermain bola, mereka juga sukses dalam memimpin sebuah organisasi sepak bola.
Melihat om Bob dengan semangatnya untuk mengangkat sepakbola Indonesia, mengingatkan saya dengan tokoh-tohoh macam Platini, Beckenbauer dan Savićević selain mereka sukses dalam bermain bola, mereka juga sukses dalam memimpin sebuah organisasi sepak bola.
Bayangkan, dalam usianya yang sudah tidak muda lagi, visi dan misi memajukan sepakbolanya om Bom tak pernah luntur. Tokoh seperti inilah yang kita perlukan dalam memimpin PSSI di masa datang. Dengan kemauan dan disiplin ala om Bob, maka prestasi lambat laun akan terbentuk, dengan mental-mental visioner bermain yang baik juga akan muncul.
Sebuah harapan untuk om Bob, sepertinya sudah saatnya om Bob untuk turun lapangan lagi, tetapi tentunya bukan untuk bermain bola. Tetapi untuk bermain menjadi posisi PSSI 1, memimpin pasukan mudanya dalam rangka mengangkat prestasi sepak bola kita.
Perjuangan kita belum selesai om Bob!!”
Rezza Lubis untuk TOTAL FOTTBALL INDONESIA