Sabtu, 10 Maret 2012

Atraksi Bintang Hamburg, Uwe Seeler di Senayan

Pada 15 januari 1972, Pemain terbaik Jerman Barat Uwe Seeler bersama kesebelasan Hamburg pernah bermain di Senayan. Ia mendemonstrasikan kebolehannya walau terkesan baru 50% saja dari seluruh kempuanya. Uwe seler memang akan mundur dari dunia sepakbola setelah kontraknya di Hamburg habis sesudah pertandingan ini. Dibawah sorotan lampu Stadion Utama pemain berambut pirang itu nampak lebih botak dan lebih tua dari usianya yang saat itu baru 34 tahun. Dengan tinggi badan kurang dari 1,70 dan berat badan jang agak overweight, pemain nasional jerman Barat, dunia dan Kapten Kesebelasan Hamburg, Uwe Seeler paling tidak telah memperkenalkan dihadapan 80.000 penonton Senayan kelebihan sklill sepakbolanya.
Kesan pertama pada penonton, ketika ia memimpin Hamburg tidak menimbulkan reaksi sehebat seperti jang diberikan kepada Lev Yasin, penjaga gawang “Dynamo” dari Soviet Uni. Namun bagi sementara penonton awam, mereka ingin melihat atraksi dari “Pemain Terbaik Jerman yang pernah direbut Seeler pada tahun 1960, 1964 dan 1970. Bahkan melebihi gelar yang diperoleh Frans Beckenbauer ( 1966, 1968) dan Gerd Muller (1967, 1969).
Menghadapi pertahanan PSSI B dengan lini: Sutriono (kiper), Jusuf Bahang, Reny Salaki (back), A. Rany dan Martin Burwas (poroshalang) yang bermain sangat baik, tidak menjulitkan Seeler untuk mendemonstrasikan gerakan-gerakan yang sedikit akrobatis. Langkah pendek-pendek dengan variasi tempo cepat, sedang dan lambat ia pertontonkan dengan sempurna. Dan ia maju mundur dengan setia pada garis lurus antara titik penalti dan titik tengah. Dari situ dia menyusun serangan melalui kedua sayap dengan memberi umpan pada setiap kesempatan menguasai bola. Barangkali kesederhanaan inilah membikin pemain gelandan timnas b, Bob Permadi tidak perlu menempel Seeler terlalu rapat. Tapi, ia tetap saja pemain kaliber dunia, pada setiap kali bola jatuh dari kakinya, tim hamburg langsung menguasai medan. Seperti seorang prajurit yang haus akan kemenangan.
Walaupun sudah uzur kemampuan melompat, menyundul atau menyepak sikulit bundar sama ia perlihatkan waktu bermain di piala dunia dulu. Bukan saja disebabkan kemampuanya menggunakan kepala atau kedua kaki sama baiknya, lebih-lebih ia dapat melakukan hampir dari segala posisi. Pada menit ke-5, posisi Seeler berada diposisi kiri gawang, terpepet oleh garis ia lalu membuat tendangan jungkir-balik, setelah lebih dulu mengganggu keseimbangan Rany dengan benturan bola yang tepat.
Kisah tentang karier pemain profesionalnya ini dalam Piala dunia di Meksiko 1970, bukan saja masih berkesan dikalangan penonton, lebih-lebih merupakan sugesti untuk mengharapkan permainan kesunguhan dari Seeler. Itulah sebabnya beberapa pengamat pada masa itu berkesim pulan bahwa apa yang dipertundjukkan pemain dunia ini baru 50 saja dari seluruh potensi yang dimilikinya.
Memang ketrampilan Uwe sudah dimakan usia senja, bila dibandingkan oleh masa dua tahun setelah Piala dunia Meksiko. Pada saat itu usia 30 nya dapat menempatkan jerman barat menjuarai posisi ke tiga, dibawah Brazil dan Italia.Kalau begitu, pembatja perlu mendengarkan apa komentar Helmut Schon, Team Manager Djerman Barat jang berhasil menempatkan Kesebelasannja dalam tiga-besar dunia (Brazil, Itali dan Djerman).
Manager Jerman Barat, Helmut Schon mengatakan ketika itu medan pertempuran di mid-field adalah yang paling buruk, mengingat keadaan abnormal dari ketinggian kota Meksiko. “Dalam hal ini saja memperhitungkan Fitchel dan Overath sanggup menguasai daerah jang lebih luas dan bersama Beckenbauer hubungan antara daerah-tengah dan pertahanan dapat dikuasai dengan baik”. Tapi bagaimana hubungan antara lapangan tengah dan barisan penyerang ? “Inilah mata rantai yang hilang”, kata Schon menandaskan. Dan untuk mengisi lowongan itu ia menarik Seeler agak kebelakang: bukan sebagai gelandang, tapi berperan setengah penghubung. ‘Sungguh menakdjubkan, seorang jang berumur 30 tahun seperti Seeler dapat menghadapi kondisi seburuk di Meksiko. Ia membuktikan kemampuanya membuat prestasi lebih baik dari pemain manapun dari Kesebelasan kami. Seeler sungguh merupakan Inspirasi bagi pemain-pemain muda lama”.
Selanjutnya Schon memuji kehebatan stamina Seeler selama 6 pertandingan sampai penentuan kedudukan ke-3 dan 4, sehingga memungkinkan Jerman Barat beroperasi dengan 4 pemain dilapangan-tengah dan tiga penyerang. Stamina bekas Kapten Kesebelasan jerman Barat ini memang tidak begitu  terudji di  pertandingan di senayan  malam itu. Tapi temperamen dan kewibawaan seorang pemain kaliber dunia jelas terpancar setiap kali ia memberi petunjuk-petunjuk terhadap kesalahan kombinasi yang dibuat rekan-rekannya, Dan menjadikan pengalaman yang berharga bagi sepakbola Indonesia ( rezza mahaputra lubis)

Jumat, 09 Maret 2012

Sportifitas Tatung FC bagi PSSI Tamtama

Setelah berhasil menang 2-0 atas AIK Swedia dan klub Independiente Argentina , untuk ketiga kalinya PSSI Tamtama di bawah pelatih Hendriks menang lagi. Lawannya kesebelasan Tatung dari Taiwan dicukur setengah losin gol (3-0). Namun ekor yang meyakinkan itu belum cukup kuat menanamkan kepercayaan bagi 30 ribu penonton Senayan, tanggal 8 Maret 1975 pada masa lalu.

Bayangkan pada babak pertama kiper Yudo hanya kebagian memegang bola 4 kali. Sementara barisan penyerang PSSI yang dipimpin oleh Waskito dari sayap kiri. Lebih banyak memperlihatkan permaian gocekannya degan kelemahan penyelesaian terakhir. Di lini tengah duel-duel memperebutkan bola memang terjadi, meskipun hal itu belum menunjukkan kematangan kerjasama Sofyan Hadi, Junaedi Abdillah dan Anjasmara dalam usaha menciptakan peluang. Terlihat sekali mereka cenderung meremahkan Tatung FC.

Pertarungan kedua keseblasan, lebih tepat adalahnya atraksi kekuatan PSSI. Jalannya bola pun lebih banyak terjadi di kawasan daerah Tatung. Sehingga barisan pertahanan PSSI yang terdiri dari Sutan Harhara, Suaib Rizal, Oyong Liza dan Rusdi Bahalwan lebih banyak bertindak sebagai mandor-mandor alias banyak diamnya.

Memang saat sebelum pertandingan keadaan berat sebelah itu, sudah di ramalan oleh Pelatih Hendrik. Targetnya bahwa PSSI "paling kurang akan menang 3 gol", lebih dari tepat.

Sebenernya andai kata PSSI dapat memanfaatkan peluang-peluang yang disuguhkan begitu matang dihadapannya, mungkin bisa 8-0 hasilnya. Dirijen line tengah Anjasmara, memang sangat terlihat meremehkan Tatung, seringkali ia terlalu banyak membuat gerakan tak perlu atau gojek-gojek. Yang makin jelas secara langsung memperlihatkan kelemahan pertahanan lawan. Demikian pula Junaedi Abdilah yang semula berharap mendapat lawan sepadan,banyak membuang-buang keringat menyusun kombinasi melebarkan permainan.

Satu taktik yang sesungguhnya dibutuhkan ketika PSSI Tamtama berhadap dengan barisan pertahanan Independiente beberapa waktu yang lalu. Ketika itu PSSI Tamtama bermain sangat efektif dan sangat baik.

Berbeda saat melawan Tatung dengan menghadapi lawan yang tak setanding, Anjasmara cs terlihat sekedar sedang mempraktekkan pelajaran dari sang pelatih. Meskipun di mata seorang awam, pelajaran tersebut masih terlalu elementer buat dijadikan bekal memenangkan babak penyisihan Turnamen Piala Asia di Bangkok pada Juni 1975.

Sebab kalau toh jumlah gol kemenangan lawan dijadikan ukuran, rasanya kok kurang. Karena sebelumnya Tatung FC di gebuk Persib Bandung (8-O) secara meyakinkan.

Pada masa itu kehadiran Tatung FC di Stadion Utama mengundang banyak pertanyaan. Sebab kesebelasan ini lebih tepat diadu dengan kesebelasan Sukabumi atau Bogor misalnya. Hanya dua orang pemain mereka yang lumayan. Kebetulan sekali kedua orang itu penjaga gawang dan penyerang-tengah yang masing-masing memakai kaos no 1 dan no 7. Selebihnya mereka memakai kaos nomor 14 ke atas. Malah ada yang bernomor 46.Karena pada masa itu, umumnya pemain top biasa memakai berurutan dari no 1 sampai 11.

Nah sebenernya siapa sih Tatung ?????

Calvin Chen dari staf Perwakilan Taiwan di Jakarta menerangkan, bahwa Tatung FC memang team juara. Hanya saja juara dari kalangan karyawan setempat. Tentu saja berbeda dengan kesebelasan junior nasional yang beberapa waktu lalu mengadu kekuatan dengan Persija di lapangan Menteng. "Mereka adalah karyawan perusahaan yang membikin barang-barang elektronika", tambahnya, "dan kedatangan mereka di Jakarta tidak lebih dari program promosi produksi mereka".

Tak heran banyak celoteh di para pemain kita Tak heran, "tukang-tukang listrik" itu badannya kaku-kaku celetuk Sutan Harahara. Waskito juga berkelakar "Gerak mereka bagai mesin yang kekurangan pelumas”.

Tapi apapun itu positifnya meskipun dalam menghadapi hujan gol dari PSSI mereka tidak pernah putus asa, tetapi melakukan tugas dengan sportif. Setelah kisah berlalu akhirnya Tatung FC pun menjadi klub profesional di Taiwan, dengan mengikuti liga Profesional Taiwan (Intercity Football leage) dengan memiliki stadion megah bernama Taipe Municipal Stadium.

Kamis, 08 Maret 2012

Mulyadi pengabdian 8 tahun di Timnas Indonesia


Fan Tek Fong alias Hadi Mulyadi alias Mulyadi (lahir di Serang, 19 September 1943 – meninggal 30 Januari 2011 pada umur 67 tahun) adalah seorang pemain sepak bola Indonesia di era tahun 1960an. Pada masanya, Ia dikenal sebagai pemain belakang yang andal. Ia pernah memperkuat tim nasional PSSI, UMS, Persija, Pardedetex, dan Warna Agung.


Tek Fong, demikian ia biasa dipanggil, mulai mengenal sepak bola saat berusia 10 tahun. Ketika itu, ia hampir setiap hari datang ke Petak Sinkian untuk melihat Thio Him Tjiang, Djamiaat Dhalhar, Kwee Kiat Sek, Chris Ong, dan Van der Vin berlatih di bawah pimpinan pelatih Drg. Endang Witarsa (Liem Sun Yu). Pada tahun 1960 Tek Fong diterima masuk Union Makes Strength (UMS) setelah Dokter Endang melihat ada kelebihan di kakinya. Hampir bersamaan dengannya, masuk pula Surya Lesmana, Reni Salaki, Kwee Tik Liong, dan Yudo Hadianto.

Tek Fong adalah satu dari sekian banyak murid terbaik Endang Witarsa. Endang tak hanya menjadikannya sebagai libero andal di masanya, tapi juga mengajarkan bagaimana menjalani hidup di luar lapangan. Ketika Endang dipercaya menjadi pelatih Persija Jakarta pada tahun 1963, Ia juga membawa Tek Fong untuk bergabung. Tek Fong bersama dengan Soetjipto Suntoro, Taher Yusuf, dan Domingus Wawayae berhasil membawa Persija menjadi juara Perserikatan 1963. Tek Fong kemudian pindah ke klub Pardedetex Medan pada tahun 1969.

Saat Dokter Endang dipercaya sebagai pelatih tim nasional, Ia juga meminta Tek Fong untuk bergabung. Pretasinya di tim nasional semakin cemerlang. Tek Fong bersama dengan Soetjipto Soentoro, Abdul Kadir, Risdianto, Surya Lesmana, Yakob Sihasale, Reni Salaki, Yuswardi, serta Anwar Udjang berhasil membawa berbagai gelar juara ke Indonesia.

Tek Fong kemudian memperkuat Klub Warna Agung pada tahun 1972. Benny Mulyono, pemilik klub, memintanya untuk menarik sejumlah pemain nasional memperkuat klub pabrik cat yang bermarkas di Jalan Pangeran Jayakarta. Di bawah pelatih drg. Endang Witarsa, Tek Fong bersama dengan Risdianto, Rully Nere, M. Basri, Yakob Sihasale, Timo Kapissa, dan Robby Binur mengantar klub Warna Agung ke puncak kejayaan.

Tek Fong memang tak tergeserkan selama delapan tahun di tim nasional. Ia tidak hanya membawa Persija Jakarta menjadi juara Perserikatan pada tahun 1963 tetapi juga ikut mempersembahkan empat gelar juara bagi tim nasional Indonesia, yaitu; King's Cup 1968, Merdeka Games 1969, Anniversary Cup 1972, dan Pesta Sukan 1972.


Tek Fong menganggap drg Endang Witarsa sebagai guru besarnya. Dokter Endang adalah pelatih ketika Tek Fong memperkuat UMS, Persija Jakarta, Warna Agung, dan tim nasional PSSI. Baginya, dokter Endang adalah sumber inspirasi karena hidupnya benar-benar dibaktikan pada sepak bola.

Tek Fong tidak jauh dari Dokter Endang ketika sang legenda tersebut menjalani perawatan hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir. Ia menangis ketika ikut merasakan apa yang dirasakan Dokter. Ketika Dokter Endang sedang menahan kesakitan, Ia masih sempat-sempatnya menanyakan kondisi lapangan Petak Sinkian.

Tek Fong masih teringat ajaran-ajaran yang diberikan Dokter Endang. Dokter Endang selalu mengingatkan agar Tek Fong bersikap jujur, tidak berbohong, dan memelihara pertemanan dengan baik. Ia baru menyadari pertemanan yang dimaksud ketika Dokter memindahkannya dari Persija ke Pardedetex Medan pada 1969. Ternyata Dokter sudah berteman dengan T.D. Pardede ketika pengusaha Medan itu mendirikan klub Pardedetex.


Setelah 12 tahun menjadi pemain sepak bola, Tek Fong kini menjadi salah satu pelatih Sekolah Sepak Bola Union Makes Strength (UMS), klub sepak bola yang sudah berusia lebih dari 100 tahun. "Saya ingin menghabiskan masa tua di sini," katanya. Ia adalah sedikit dari banyak pemain nasional etnis Tionghoa yang masih tersisa.

Sebagian mimpi lelaki dengan dua anak ini kini terwujud. Tek Fong sangat bangga ketika memperkenalkan Robo Solissa, yang bermain untuk klub UMS, anggota Divisi Utama Persija Jakarta. Nyong Ambon itu adalah hasil didikannya selama tiga tahun di Sekolah Sepak Bola UMS di Petak Sinkian.

Tek Fong tidak terlalu peduli walau dia tak mendapatkan apa-apa kecuali kebanggaan saat membesarkan meteor bola baru. "Jangan tanya saya punya apa dari sepak bola," katanya. Kebanggaan baginya tak bisa dikalahkan dengan apa pun, bahkan dengan uang. Lelaki yang hampir setiap hari berada di lapangan Petak Sinkian itu memang tak punya apa-apa. Hidupnya jauh dari mentereng. Lelaki itu cukup puas hidup dengan kebanggaan.

8 TAHUN DI TIMNAS


Tek Fong, demikian ia biasa dipanggil, mulai mengenal sepak bola saat berusia 10 tahun. Ketika itu, ia hampir setiap hari datang ke Petak Sinkian untuk melihat Thio Him Tjiang, Djamiaat Dhalhar, Kwee Kiat Sek, Chris Ong, dan Van der Vin berlatih di bawah pimpinan pelatih Drg. Endang Witarsa (Liem Sun Yu). Pada tahun 1960, Tek Fong diterima masuk Union Makes Strength (UMS) setelah DokterEndang melihat ada kelebihan di kakinya. Hampir bersamaan dengannya, masuk pula Surya Lesmana, Reni Salaki, Kwee Tik Liong, dan Yudo Hadianto.

Tek Fong adalah satu dari sekian banyak murid terbaik Endang Witarsa. Almarhum Endang Witarsa tak hanya menjadikannya sebagai libero andal di masanya, tapi juga mengajarkan bagaimana menjalani hidup di luar lapangan. Ketika Endang Witarsa dipercaya menjadi pelatih Persija Jakarta pada tahun 1963, Ia juga membawa Tek Fong untuk bergabung. Tek Fong bersama dengan Soetjipto Suntoro, Taher Yusuf, dan Domingus Wawayae berhasil membawa Persija menjadi juara Perserikatan 1963.

Saat dokter Endang Witarsa dipercaya sebagai pelatih tim nasional, Ia juga meminta Tek Fong untuk bergabung. Pretasinya di tim nasional semakin cemerlang. Tek Fong bersama dengan Soetjipto Soentoro, Abdul Kadir, Yacob Sihasale, Risdianto, Surya Lesmana, Reni Salaki, Yuswardi, serta Anwar Udjang berhasil membawa berbagai gelar juara ke Indonesia.

Tek Fong kemudian memperkuat Klub Warna Agung pada tahun 1972. Benny Mulyono, pemilik klub, memintanya untuk menarik sejumlah pemain nasional memperkuat klub pabrik cat yang bermarkas di Jalan Pangeran Jayakarta. Di bawah pelatih drg. Endang Witarsa, Tek Fong bersama dengan Risdianto, Rully Nere, M. Basri, Yakob Sihasale, Timo Kapissa, dan Robby Binur mengantar klub Warna Agung ke puncak kejayaan.

Tek Fong memang tak tergeserkan selama delapan tahun di tim nasional. Ia tidak hanya membawa Persija Jakarta menjadi juara Perserikatan pada tahun 1963 tetapi juga ikut mempersembahkan empat gelar juara bagi tim nasional Indonesia, yaitu; King's Cup 1968, Merdeka Games 1969, Anniversary Cup 1972, dan Pesta Sukan 1972.

Tek Fong menganggap drg Endang Witarsa sebagai guru besarnya. Baginya, dokter Endang adalah sumber inspirasi karena hidupnya benar-benar dibaktikan pada sepak bola.Tek Fong tidak jauh dari dokter Endang ketika sang legenda tersebut menjalani perawatan hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir. Ia menangis ketika ikut merasakan apa yang dirasakan dokter. Ketika dokter Endang sedang menahan kesakitan, Ia masih sempat-sempatnya menanyakan kondisi lapangan Petak Sinkian. Selama masa hidupnmya Tek Fong berjuang keras untuk menjalani dengan baik apa yang telah diajarkan dokter Endang Witarsa kepadanya, yakni dengan senantiasa bersikap jujur, tidak boleh menyimpan rasa iri dan dengki pada orang lain, menjalani hidup apa adanya, dan memelihara pertemanan dengan baik.

Oleh karena itulah, Tek Fong tetap merasa nyaman di masa tuanya, tidak terlalu peduli walau dia tak mendapatkan apa-apa kecuali kebanggaan dari masa lalunya. Kebanggaan itulah yang membuat ia masih bisa merasa tenang dan selalu bisa bersikap easy going saja, walau kehidupan kesehariannya amat bersahaja.


Beristirahatlah Dalam Damai, Fan Tek Fong!

Sepakbola Indonesia kembali kehilangan salah seorang bintang masa lalunya. Fan Tek Fong, yang kemudian dikenal dengan nama Hadi Mulyadi, 67 tahun, telah berpulang pada Minggu (30/1) malam karena serangan jantung. Almarhum adalah salah seorang pemain besar pada zamannya, sebagaimana teman-teman seangkatannya yang telah mendahuluinya pergi, seperti Soetjipto Soentoro, Abdul Kadir, dan Yakob Sihasale.

Fan Tek Fong, lahir di Serang, Banten, 19 September 1943, adalah salah satu bintang timnas Indonesia era 1960-an dan 1970-an. Belajar sepakbola secara serius sejak usia 10 tahun di bawah bimbingan pelatih nasional legendaris (alm) Endang Witarsa, Tek Fong memulai karir fenomenalnya di klub UMS Petak Sinkian, sebelum kemudian bergabung dengan Persija Jakarta. Ia kemudian sempat bermain untuk Pardedex, Medan, walau kemudian kembali ke Jakarta memperkuat klub Warna Agung.

Minggu malam itu, sekitar pukul tujuh, Tek Fong tengah bersenda-gurau bersama sejumlah kerabat dan sahabarnya setelah sama-sama bersantap di sebuah kedai di bilangan Petak Sinkian, Jakarta Barat. Ia, menurut penuturan salah seorang kerabatnya, sempat tertawa terpingkal-pingkal menanggapi celoteh yang berkembang. Namun, derai tawanya tak sampai habis. "Kami kaget karena tiba-tiba saja tawanya terhenti," kata kerabatnya.

Tek Fong, ayah dari dua orang anak dan tiga cucu, kemudian sempat dilarikan ke RS Husada di kawasan Mangga Besar. Akan tetapi, Tuhan sudah memanggilnya sebelum sempat menjalani perawatan.

Saat ini, jenazah Fan Tek Fong masih disemayamkan di Ruang C RS Husada itu. Pihak keluarganya memastikan, almarhum akan dikremasi pada Rabu (2/2) sekitar pukul 10.00 wib. Tadi malam, ruang duka di RS Husada disesaki puluhan kerabat dan sahabat almarhum yang datang untuk memberikan penghormatan, termasuk pemain-pemain senior seangkatannya yang masih sehat, seperti Risdianto, Renny Salaki, Surya Lesmana.

"KIta kehilangan salah seorang bintang besar yang banyak berjasa pada persepakbolaan nasional," ungkap Sekjen PSSI Nugraha Besoes, yang terakhir bertemu almarhum saat berlangsungnya AFF Suzuki Cup bulan Desember lalu. "Dia pemain besar yang sangat bersahaja, tidak sombong, mudah diajak bicara oleh orang yang usianya jauh dibawah dia sekalipun," ujar Nugraha Besoes yang sudah mengenal Tek Fong sejak puluhan tahun silam.

Almarhum Tek Fong memang seorang bintang yang amat bersahaja. Jika tak sedang mendidik anak-anak remaja di lapangan Petak Sinkian, almarhum Tek Fong beberapa hari dalam seminggu bisa dijumpai di kantor sekretarist PSSI di kawasan Senayan. Almarhum betak berjam-jam berada di kantor PSSI, untuk bersenda-gurau dan berbagi cerita masa lalu dengan Idrus, karyawan paling senior di PSSI yang amat dikenalnya.