Pecinta sepakbola nasional mengenal UMS sebagai salah satu klub sepakbola tertua di Jakarta. Banyak pemain ternama yang lahir, dibesarkan dan kemudian membawa nama baik klub ini ke mancanegara. Klub yang didirikan pada tahun 1905 ini memiliki sejumlah pemain yang melegenda, yang pada masanya pernah menjadi andalan di timnas Indonesia, dan sebagian diantaranya kini menjadi saksi hidup dari pasang surut perkembangan sepakbola nasional.
Beberapa nama bisa disebut, dari generasi pertama, misalnya, Him Tjiang, Djamiat Dhalhar, Kwee Kiat Sek, Chris Ong, Van der Vin, dan tentu saja almarhum Liem Sun Yu, yang lebih dikenal dengan nama drg. Endang Witarsa.
Beberapa pemain dari generasi kedua masih memiliki nama harum dan dikenal banyak orang, seperti Fan Tak Fong alias Hadi Mulyadi atau Mulyadi, Renny Salaki, Surya Lesmana, Kwee Tik Liong dan kiper Yudo Hadiyanto.
Masa keemasan UMS memang meredup seiring pudarnya kejayaan generasi kedua, atau ketika perkembangan zaman dan politik turut mempengaruhi minat dan rasa suka warga keturunan terhadap sepakbola. Padahal, para generasi tua UMS terus berusaha dan berjuang agar ada diantara warga keturunan yang menekuni sepakbola dan berlatih keras untuk menjadi pemain nasional. Sampai sekarang. Betapa pun, UMS menjadi contoh di mana pembauran memperoleh tempatnya secara layak..
"Sekarang kami banyak membina pemain-pemain dari kelompok usia dini, dan sebagian besar memang pribumi," kata Tek Fong, salah satu legenda hidup UMS.
Tek Fong sangat bangga ketika UMS kini mampu memodernisasi diri, terutama dengan pengadaan lampu penerangan di dalam stadion.
Lampu penerangan sebesar 18.000 watt itu diresmikan pemakaiannya pada Senin (26/7) malam, oleh pembina UMS Agum Gumelar, mantan ketua umum PSSI dan ketua umum KONI Pusat. Peresmian pemakaian lampu penerangan di dalam stadion UMS ini diwarnai penandatanganan prasasti oleh Agum Gumelar. Dalam sambutan singkatnya, Agum Gumelar antara lain mengutarakannya kebanggaannya bahwa UMS bisa bertahan dan eksis hingga usianya yang ke-105.
Lampu penerangan di dalam stadion klub Union Makes Strong (UMS) ini terpacak di enam tiang di sekeliling stadion, dengan masing-masing tiang memuat tiga lampau. Menurut keterangan Johannes Singgih, ketua umum klub UMS saat ini, dalam dua pekan kedepan akan ada penambahan enam lampu lagi untuk menggenapkan total dayanya menjadi 24.000 watt. Dia menyebutkan, biaya yang sudah dikeluarkan mencapai Rp 750-an juta.
"Ini patungan dari seluruh pengurus yayasan, simpatisan dan beberapa sumber lainnya," kata ketua UMS
Beberapa nama bisa disebut, dari generasi pertama, misalnya, Him Tjiang, Djamiat Dhalhar, Kwee Kiat Sek, Chris Ong, Van der Vin, dan tentu saja almarhum Liem Sun Yu, yang lebih dikenal dengan nama drg. Endang Witarsa.
Beberapa pemain dari generasi kedua masih memiliki nama harum dan dikenal banyak orang, seperti Fan Tak Fong alias Hadi Mulyadi atau Mulyadi, Renny Salaki, Surya Lesmana, Kwee Tik Liong dan kiper Yudo Hadiyanto.
Masa keemasan UMS memang meredup seiring pudarnya kejayaan generasi kedua, atau ketika perkembangan zaman dan politik turut mempengaruhi minat dan rasa suka warga keturunan terhadap sepakbola. Padahal, para generasi tua UMS terus berusaha dan berjuang agar ada diantara warga keturunan yang menekuni sepakbola dan berlatih keras untuk menjadi pemain nasional. Sampai sekarang. Betapa pun, UMS menjadi contoh di mana pembauran memperoleh tempatnya secara layak..
"Sekarang kami banyak membina pemain-pemain dari kelompok usia dini, dan sebagian besar memang pribumi," kata Tek Fong, salah satu legenda hidup UMS.
Tek Fong sangat bangga ketika UMS kini mampu memodernisasi diri, terutama dengan pengadaan lampu penerangan di dalam stadion.
Lampu penerangan sebesar 18.000 watt itu diresmikan pemakaiannya pada Senin (26/7) malam, oleh pembina UMS Agum Gumelar, mantan ketua umum PSSI dan ketua umum KONI Pusat. Peresmian pemakaian lampu penerangan di dalam stadion UMS ini diwarnai penandatanganan prasasti oleh Agum Gumelar. Dalam sambutan singkatnya, Agum Gumelar antara lain mengutarakannya kebanggaannya bahwa UMS bisa bertahan dan eksis hingga usianya yang ke-105.
Lampu penerangan di dalam stadion klub Union Makes Strong (UMS) ini terpacak di enam tiang di sekeliling stadion, dengan masing-masing tiang memuat tiga lampau. Menurut keterangan Johannes Singgih, ketua umum klub UMS saat ini, dalam dua pekan kedepan akan ada penambahan enam lampu lagi untuk menggenapkan total dayanya menjadi 24.000 watt. Dia menyebutkan, biaya yang sudah dikeluarkan mencapai Rp 750-an juta.
"Ini patungan dari seluruh pengurus yayasan, simpatisan dan beberapa sumber lainnya," kata ketua UMS
senangnya nemu blog ini!
BalasHapuslanjutkan mas/om!
really like it :)
Semoga terbangunnya raksasa ini mampu berdampak baik bagi pembinaan usia dini sepakbola nasional.
BalasHapusAmien.. doa kan semoga garuda2 muda kita akan membawa kita ke puncak tinggi prestasi di masa yang akan datang.
BalasHapusSalam kenal Om, saya senang bisa menikmati blog ini semoga terus bergulir.. dari Bandung kita sama2 berdoa, semoga garuda muda kita berprestasi lagi, seperti era Tony Pogacknik! Amiien.. (seperti kata Bill Fleming, senior soccer writer at the Argus newspaper, Australia, 30 November 1956) If there was an Olympic Medal awarded for courage, tenacity and refusal to admit inferiority, the INDONESIAN SOCCER TEAM would have won it hands down yesterday at Olympic Park. They confounded experts, amazed the spectators and worried the Russian team a scoreless draw, even after extra time had been ordered. It was the most fantastic soccer match I have ever seen.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSayangnya lapangan ums ini menjadi rebutan
BalasHapusDikarenakan letak yg strategis di ibukota. Saya sebagai anak dari Renny Salaki. Amat menyayangankan beberapa lapangan sepak bola di dki jakarta telah hilang krn pembangunan. Bagaimana sepak bola kita mau maju. Sarananya saja tidak ada