Senin, 25 Oktober 2010

Wacana Naturalisasi bagi sepakbola Indonesia

Sejarah sepakbola Indonesia adalah sejarah kekalahan demi kekalahan. Kemenangan 3-0 atas Maladewa di Stadion Siliwangi, Bandung, 12 Oktober 2010 lalu, sehabis dibantai 1-7 oleh Uruguay, notabene kemenangan pertama dalam 12 laga internasional terakhir.

Betapa tidak, sukses penghabisan yang pernah dipetik timnas senior merah putih sebelumnya adalah pada Piala AFF 2008 dengan skor 4-0 atas Kamboja.

Seperti halnya seorang Nurdin Halid yang masih juga bermuka tembok meski telah didesak turun di mana-mana, begitulah keterpurukan prestasi sepakbola Indonesia yang tak kunjung bangkit, kendati (konon) berbagai jawaban telah dicari dan banyak langkah telah ditempuh.

Salah satu solusi yang kemudian menyeruak ke permukaan adalah naturalisasi pemain asing. Nama-nama seperti Tobias Waisapy, Johnny van Beukering, dan Raphael Guillermo Eduardo Maitomo pun berkibar sebagai kandidat calon pemain asing yang bakal diimpor PSSI. Selain mereka, terdapat pula Sergio van Dijk, Kim Jeffrey Kurniawan, Jeffry de Vischer, Alessandro Trabucco, Irfan Bachdim, dan beberapa nama lagi yang seyogianya akan dibujuk jadi warganegara Indonesia.

Hari ini, naturalisasi di dunia sepakbola memang bukan lagi hal baru. Lihatlah, bagaimana negara-negara Eropa yang kampiun sepakbola pun mengandalkan pemain impor dalam tim nasionalnya. Tetapi persoalannya, naturalisasi PSSI ini terlanjur dicap sebagai jalan pintas untuk mendongkrak prestasi. Langkah ini dipandang instan, tak lebih rasa frustasi dari gagalnya sistem pembinaan yang dilakukan PSSI, jika tidak langkah kalap sang ketua umum sendiri. Yang lebih gamang lagi, semua pemain asing yang diincar tersebut adalah mereka yang punya darah keturunan Indonesia di luar negeri, terutama dari Belanda. Alhasil, pro dan kontra pun bermunculan.

Apakah naturalisasi pemain asing memang dibutuhkan PSSI?

Dalam timnas Prancis untuk Piala Dunia 2010 misalnya, tercatat sekitar 13 pemain naturalisasi memperkuat Les Bleus, yang notabene merupakan ulangan empat tahun sebelumnya di Jerman. Tak dapat dipungkiri kalau berkat jasa dan prestasi para pemain keturunan imigran dan naturalisasi seperti Zinedine Zidane (Aljazair), Patrick Veira (Senegal), Lilian Thuram (Guadeloupe), atau Thiery Hendry (Guadeloupe-Martinique) itulah, Prancis berhasil merajai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 serta meraih runner up Piala Dunia 2006.

Bahkan Jerman yang termasyhur dengan ego "Deustch über alles", timnasnya semakin terbiasa dipenuhi oleh para pemain naturalisasi termasuk dari kalangan imigran yang kerap dipandang sebagai sumber beban dan masalah. Sebut saja Sami Khedira yang keturunan Tunisia, Cacao dari Brasil yang baru dinaturalisasi tahun 2009, Denis Aogo (Nigeria), Jerome Boateng (Ghana), hingga seorang Mesut Oezil (Turki) yang melejit sebagai bintang baru di Afrika Selatan. Di Asia, Jepang dan Singapura termasuk yang paling rajin melakukan naturalisasi pemain asing.

Tetapi naturalisasi yang mereka lakukan tidaklah asal-asalan dan segampang yang kita bayangkan. Apalagi negara-negara Eropa dikenal memiliki akar rasisme yang cukup panjang dalam menjaga kemurnian darah. Bukankah sebelum dekade 90-an, di sana masih sering terjadi streotipe rasial dalam pengaturan posisi pemain? Di mana posisi sentral seperti kiper, sweeper, atau striker selalu diisi oleh pemain kulit putih yang dianggap memiliki intelegensi lebih tinggi dibanding pemain berkulit hitam.

Di masa kini, naturalisasi pesepakbola di Prancis pun sebetulnya bukan tanpa masalah, kendati para pemain naturalisasi dan imigran telah banyak membuktikan prestasinya di bawah panji Les Bleus. Ketika menjadi tuan rumah Piala Dunia 1998 sebagai contoh, politikus sayap kanan Jean-Marie Le Pen sempat menyerang pelatih Aime Jacquet karena menganggap porsi yang diberikan kepada para pemain keturunan imigran di timnas terlalu luas. Bagi orang seperti Le Pen: "Orang Prancis asli-lah yang paham soal membela negara."

Martabat bangsa dan kepentingan diri

Barangkali kekhawatiran Le Pen tak sepenuhnya keliru. Selalu terbersit kecemasan jika para pemain naturalisasi tidak akan bermain sepenuh hati membela negeri barunya. Sebab, selain sepakbola telah lama menjadi bagian dari diplomasi dan kebanggaan suatu bangsa, di era globalisasi ini nasionalisme dan identitas bisa menjadi begitu lentur oleh kuasa ekonomi.

Karenanya, makna warganegara pun berbeda dengan bangsa. Pengertian bangsa tidak sekadar urusan administrasi, mematuhi undang-undang yang berlaku, membayar pajak, atau memikul hak dan kewajiban yang sama. Lantaran hal inilah, pemerintah dan rakyat Prancis tak pernah mempersoalkan kecintaan Zidane pada Aljazair dan paspor gandanya. Tak ada orang Brasil yang menuding Liedson, Pepe, Deco sebagai "Malin Kundang" karena mereka memilih membela Portugal. Tak masalah bagi orang Belanda ketika Giovanni van Bronchost, sang kapten, mengakui Indonesia sebagai negeri leluhurnya dengan bangga. Yang penting adalah bagaimana mereka menunjukkan prestasi gemilang dan mengharumkan nama tim negara yang dibela.

Sebab di era globalisasi, sebuah kewarganegaraan bisa jadi hanyalah persoalan kepentingan diri: "Apa yang akan aku dapatkan jika aku membela negaramu?" Sehingga di sini, yang berlaku adalah hukum ekonomi; perkara untung-rugi. Dengan demikian naturalisasi tak lain adalah persoalan pasar.

Sedangkan: "Sebuah negeri bukan hanya tanah dan rumah-rumah. Sebuah negeri adalah wajah-wajah, kaki yang menjangkar dalam bumi, kenangan, bau yang tercium pada masa kanak, sepetak ladang mimpi, sebuah nasib ke arah harta karun yang tersembunyi di balik gunung," begitulah seorang gadis dusun Berber dalam novel Yeux Baisses, karya Tahar ben Jelloun, sastrawan muslim Maroko yang menulis dalam bahasa Prancis—sebagaimana dikutip Goenawan Mohamad di sebuah Catatan Pinggir.

Maka, saya kira alangkah naifnya jika PSSI (atau Nurdin Halid?) begitu ngotot ingin menaturalisasi para pemain asing keturunan Indonesia di Eropa sembari berharap mereka masih memiliki sedikit rasa kecintaan pada tanah leluhurnya. Sementara dalam suatu kurun waktu cukup panjang, warga keturunan Tionghoa di negeri ini pernah di-"bumiputera"-kan secara diskriminatif, mulai dari dipaksa berganti nama hingga kebudayaannya dipasung.

Jika naturalisasi memang dipandang sebagai sebuah solusi mumpuni bagi kepentingan sepakbola nasional dan martabat bangsa Indonesia, menurut saya yang lebih patut dipertanyakan adalah soal sejauh mana kualitas para pemain incaran itu. Mengingat nama-nama yang masuk dalam daftar kandidat PSSI memang serba meragukan prestasi-kiprahnya, dan kebanyakan hanya bermain di klub-klub gurem divisi bawah. Bahkan nama mereka pun nyaris tak terdengar sebelumnya. Lantas, kenapa tanggung-tanggung mencari pemain asing? Buat apa menaturalisasi pemain asing jika kemampuan mereka tak jauh berbeda dengan pemain lokal kita?

Tentu saja, kita sudah mafhum kalau jawabannya adalah sebuah pertanyaan balik: Adakah pemain sekelas van Bronchost sudi bermain untuk timnas Indonesia yang ranking 131 FIFA, hanya lantaran orangtuanya berasal dari Maluku?

Jangan sampai rasa frustasi pada prestasi sepakbola membuat kita bermimpi di siang bolong. Eropa dengan liga-liganya yang bergengsi adalah impian semua pemain sepakbola profesional. Gelimang uang, prestise, ketat dan berbobotnya kompetisi merupakan alasan utama banjirnya bintang-bintang sepakbola yang merumput di berbagai liga utama Inggris, Spanyol, atau Italia. Termasuk di sini beralih kewarganegaraan untuk membela negara Eropa.

Hal-hal demikianlah yang membuat seorang Cacao memilih bermain untuk Jerman daripada negaranya Brasil. Atau Mauro Camoranesi memutuskan memperkuat skuad Italia ketimbang berlaga bersama timnas Argentina, negeri kelahirannya. Dalam Piala Dunia 2010, paling tidak ada sekitar 10 pemain berdarah non-Jerman yang memilih membela Der Panzer, kendati sesungguhnya mereka mampu membela tim negerinya sendiri jika mau.

Selain itu, banyaknya pemain naturalisasi di timnas Prancis misalnya memang terbilang hal yang wajar jika kita merujuk kepada sejarah negara ini. Karena sejak belum jadi republik pun, Prancis telah menjadi tujuan migrasi dari berbagai negeri, terutama Benua Hitam dan Kepulauan Karibia. "Naturalisasi sudah mengakar di negara ini. Namun, bukan berarti tak ada pemain asli Prancis yang berkualitas,"tukas Eric Abidal yang berdarah Martinique.

Begitu pula halnya dengan Jerman yang dibanjiri gelombang buruh migran (gastarbeiter) Turki pasca Perang Dunia II. Mesut Oezil adalah generasi kedua imigran Turki ini yang lahir di daerah perindustrian Gelsenkirchen.

Lain lagi dengan kisah Jong Tae-se, bintang muda Korea Utara. Jong lahir dari orang tua berdarah Korea Selatan yang tinggal di Jepang. Ia lahir di Nagoya, Jepang, 2 Maret 1984 dan tidak pernah bermain di kompetisi domestik Korut. Bergabungnya ia ke skuad Korut pun tak gampang. Jong Tae-se memutuskan membela Korut sehabis menyaksikan kekalahan negeri komunis itu dari Jepang pada kualifikasi Piala Dunia 2006. Ia lantas mendatangi kedutaan Korut di Jepang dan memohon kewarganegaraan. Tetapi pemohonannya ditolak karena Korut tak mengakui keberadaan Korsel. Barulah kemudian berkat bantuan Chongryon, sebuah organisasi pro Korut, ia akhirnya mendapatkan paspor. Syahdan, pilihan Jong Tae-se membela Korut lantaran dirinya merasa memiliki ikatan batin selepas menempuh pendidikan di perguruan tinggi yang didirikan negara itu.

Ah, kembali pada rencana PSSI menaturalisasi para pemain asing keturunan Indonesia demi mendongkrak prestasi, agaknya kita masih harus menunggu pembuktian sejauh mana hasilnya pada Piala AFF, 1-29 Desember mendatang, di mana Indonesia menjadi tuan rumah bersama Vietnam. Pasca kegagalan melangkah ke Piala Asia, Piala AFF memang menjadi target minimal yang dicanangkan PSSI untuk meraih prestasi di kawasan regional. Pelatih timnas Alfred Riedl yang dikontrak hingga 2012 pun ketimpa tugas yang tak mudah ini, mengingat Indonesia tergabung di grup A yang cukup berat bersama Thailand dan Malaysia.

Entahlah. Untuk sementara kita barangkali hanya bisa berandai andai atau hanya bisa bermimpi