Jumat, 25 Maret 2011

Ribut Waidi Si Legenda Yang Menghilang


Nama Ribut Waidi menjadi fenomena pada tahun 1987 fenomenal. Pemain asal kota kecil Pati (5 Desember 1962), Jawa Tengah ini menjadi pahlawan Indonesia di SEA Games. Tampil di final melawan musuh bebuyutan Malaysia, Ribut mencetak gol tunggal yang mengantarkan Indonesia meraih emas. Saat itu jutaan pasang mata menyaksikan kepiawaian Ribut dalam mengolah si kulit bundar dan menyelamatkan tim nasional di depan publiknya sendiri. Ribut pun diarak mengelilingi lapangan. Itulah kenangan yang paling tak terlupakan bagi Ribut. Saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan, jantung Ribut ikut bergetar. Ia tak kuasa menahan air mata.

"Meski saya anak ndeso, saya sudah ikut memberikan yang terbaik bagi bangsa ini melalui sepak bola," kata Ribut.
Padahal, kehadiran Ribut sempat diperdebatkan. Meski mengantarkan PSIS Semarang menjadi juara Perserikatan, namun ia dinilai tak layak masuk tim nasional. Banyak yang beranggapan pemain Galatama yang rutin menjalani pertandingan setiap pekan yang lebih pantas di timnas. Namun, pelatih Sartono Anwar yang menangani PSIS saat menjadi juara Perserikatan bergeming dengan keputusannya. Ribut memang melejit ketika PSIS menjadi juara Perserikatan 1987.

Sebagai tim pendatang baru di kancah Perserikatan, PSIS mampu lolos 6 Besar yang berlangsung di Jakarta bersama PSMS Medan, Persija Jakarta Pusat, Persipura Jayapura, Persib Bandung dan Persebaya Surabaya. Diarsiteki Sartono, lahirlah nama-nama yang menghiasi timnas seperti kiper FX Cahyono, Budi Wahyono, Budiawan Hendratmo, Achmad Muhariyah, Syaiful Amri, Eryono Kasiha dan Ribut sendiri.
Saat itu, semua tim yang lolos ke 6 Besar diperkuat para pemain langganan timnas. Persib misalnya memiliki Robby Darwis, Adjat Sudradjat, Yusuf Bachtiar. Namun mereka dihajar PSIS 1-0. Persija yang diperkuat Patar Tambunan, Marzuky Nyak Mad, Azhary Rangkuty, Aditya Darmadi, Tony Tanamal juga dihabisi dengan skor telak 3-0.

Lawan PSIS di Final dalam Stadion Gelora Bung Karno, Senayan adalah Persebaya yang diperkuat Budi Yohanis, Putu Yasa, Syamsul Arifin, Muharom Rosdiana, Yusuf Ekodono, Mustaqiem. Dalam final dramatis itu, tim berjuluk ‘Mahaesa Jenar’ menang tipis 1-0 lewat gol Syaiful Amri. Ribut juga dinobatkan sebagai pemain terbaik pada pertandingan itu.

Di era Ribut, PSIS juga memiliki julukan baru, yaitu jago ‘lapangan becek’. Maklum, PSIS terbiasa bermain di lapangan yang sering becek dan berkubang. Menariknya, setiap kali bermain dengan kondisi hujan dan lapangan becek, PSIS selalu menang

Jajal PSV Eindhoven

Saat di masa membela tim Merah Putih di berbagai ajang kompetisi, seperti Piala Kemerdekaan, kualifikasi Piala Asia, serta Pra-Piala Dunia. Bahkan dia sempat menjajal salah satu tim papan atas liga sepakbola Belanda (Eredivisie), PSV Eindhoven pada Juni 1987.

Timnas yang saat itu tengah dipersiapkan tampil di ajang Pra Piala Dunia beroleh kesempatan berujicoba dengan tim yang diperkuat para pemain bintang Belanda. Beberapa diantaranya, Ronald Koeman, Ruud Gullit dan Marco van Basten. Ribut mengaku, laga tersebut menjadi pengalaman tak terlupakan berikutnya.

Berbeda dengan eranya, menjadi pemain sepakbola saat ini menurutnya sangat menjanjikan. Selain bergaji tinggi, fasilitas yang diterima sangat luar biasa. "Berbeda sekali dengan saat saya masih bermain dulu. Bisa memperkuat salah satu tim saja sudah sangat bangga meski dibayar sedikit," katanya sambil tersenyum.

Namun demikian, dia mengaku jika saat ini sepakbola tanah air sudah bertambah maju. Sepakbola menurutnya kini sudah menjadi sarana hiburan yang semakin memikat. Dia hanya berharap, kepada mereka yang memutuskan berkarir di sepakbola untuk terus meningkatkan keterampilan yang dimiliki.

"Kuncinya, jangan cepat puas atas prestasi yang dicapai," kata Ribut yang setiap akhir pekan menjadi pelatih ekstrakurikuler sepakbola di SMAN 7 Semarang ini.

Untuk mengingat jasa serta pengabdiannya kepada bangsa dan negara serta Kota Semarang, Pemerintah Kota Semarang bahkan mendirikan patung Ribut Waidi sedang menggiring bola di Jalan Karang Rejo, jalur utama menuju Stadion Jati Diri, Semarang, serta Asuransi Seumur Hidup PSSI yang hanya cuman Rp 100.000 per bulan.Setelah pensiun dari dunia sepak bola, Ribut Waidi bekerja sebagai karyawan di Pertamina Jateng.

KANCRUT NYA PSSI

SETELAH hampir tiga bulan kisruh, ada baiknya kita kembali dulu ke sumber segala permasalahan. Apa sih sebenarnya urusan utama sepak bola nasional kita, khususnya sebagai salah satu anggota federasi dunia FIFA?

Statuta FIFA mengatakan, kewajiban pertama anggotanya adalah mematuhi semua ketentuan dalam statuta, peraturan, petunjuk, dan keputusan dari badan-badannya termasuk CAS (Badan Arbitrase Olahraga).

Salah satu dari enam kewajiban anggota berikutnya, ambil bagian dalam kompetisi-kompetisi yang diselenggarakan oleh FIFA. Dua jenis kompetisi FIFA yang paling penting adalah Piala Dunia dan Olimpiade.

Sampai di sini pertanyaan sudah bisa kita ajukan kepada PSSI, organisasi sepak bola nasional yang oleh FIFA diakui sebagai badan satu-satunya yang mewakili Indonesia. Adakah PSSI mematuhi semua statuta dan regulasi FIFA? Dan, adakah PSSI selalu mengirimkan tim nasionalnya untuk ikut serta dalam perebutan tiket ke Piala Dunia dan Olimpiade?

Mari kita lihat dulu jawaban dari pertanyaan yang kedua. PSSI memang tidak pernah absen mengirimkan timnas ke dua arena laga terpenting itu. Tapi, kita pun semua tahu bagaimana hasilnya. Semua tim Garuda yang dikirim ke kompetisi tersebut belum pernah bisa memuaskan harapan kita.
Ambisi semua kepengurusan PSSI sejak masih dipimpin Suratin untuk mengikuti jejak tim Hindia Belanda (timnas sebelum Indonesia merdeka) ke Piala Dunia 1938 di Prancis hanya mimpi indah yang tidak pernah bisa menjadi kenyataan.

Di arena Olimpiade, semua tim Merah Putih juga belum mampu mengulang sukses Ramang, Tan Liong Houw dan kawan-kawan lolos dari babak kualifikasi Asia dan bertarung pada Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia.

Dalam delapan tahun terakhir PSSI dipimpin Nurdin Halid, hasilnya sama buruknya. Di babak perebutan tiket ke Piala Dunia maupun Olimpiade, prestasi timnas tetap jeblok. Terakhir, timnas U-23 asuhan pelatih Alfred Riedl digebuk Turkmenistan 1-3 di Palembang dan 0-1 di kandang lawan.
Data yang sangat layak dan relevan untuk ditambahkan guna menilai kepemimpinan Nurdin adalah kegagalan timnas U-23 di semua SEA Games sejak 2003 sampai 2009. Bahkan, untuk Asian Games 2010 di Guangzhou, timnas U-23 dianggap tidak pantas untuk masuk dalam Kontingen Indonesia bentukan KONI/KOI.

Demikian pula dengan hasil perjuangan timnas senior. Mereka bukan hanya kembali gagal dalam kancah persaingan menuju gelanggang prestisius Piala Dunia 2006 maupun 2010. Timnas utama itu juga patah di tengah jalan menuju putaran final Piala Asia 2011 dan kalah bersaing melawan Malaysia pada final Piala AFF 2010.

Satu-satunya gelar juara yang bisa direbut pasukan PSSI hanyalah pada Piala Kemerdekaan 2008. Tapi, ini adalah hasil yang PSSI sendiri justru tidak ingin dipublikasikan atau diingat-ingat lagi. Maklum, mereka mendapatkannya lewat cara yang kotor.

Itu terjadi pada final Indoensia melawan Libia. Pada masa istirahat dengan skor 0-1 untuk tim tamu, seorang asisten pelatih kita memukul pelatih tamu dari negeri Muamar Khadafy itu. Akibatnya, Libia tak mau melanjutkan pertandingan, dan Indonesia pun dinyatakan menang WO 3-1.

Kesimpulannya, semua tim bentukan PSSI di bawah Nurdin tak pernah mampu mengangkat harkat dan martabat sepak bola Indonesia. Tapi, dalam kondisi seburuk itu Nurdin dan kawan-kawannya – entah dengan ukuran apa -- merasa dirinya berhasil. Maka Nurdin dan wakilnya, Nirwan Bakrie, bertekad untuk kembali terpilih dalam kongres PSSI mendatang.

Saya ingin sekali lagi menyatakan bahwa logika dan etika mereka memang berbeda dengan orang-orang normal. Orang lain umumnya merasa risih atau malu ketika gagal dan karena itu mundur. Tapi, Nurdin dan Nirwan dengan sikapnya yang anomalis itu sungguh bisa menjadi contoh orang-orang yang tidak normal.

Perkembangan terakhir malah menunjukkan PSSI di bawah kekuasaan duet Nurdin-Nirwan terperosok ke dalam pusaran logika dan etika aneh berikutnya. Ini terkait dengan urusan hasil Komite Banding PSSI yang telah sampai ke kantor FIFA di Swiss. Para penguasa PSSI itu menganggap Dubes RI di Swiss Djoko Susilo dan Ketua Umum KONI/KOI Rita Subowo setelah bertemu Presiden FIFA Sepp Blatter telah menyebarkan kabar burung.

PSSI, seperti terbaca, terdengar, dan terlihat dari statement Sekretaris Jenderalnya, Nugraha Besoes, membantah Blatter telah bertemu dan mengutarakan pendapatnya kepada Djoko dan Rita, baik tentang Nurdin yang tidak boleh menjadi balon ketum lagi, maupun tentang keputusan Komite Banding yang membatalkan pencalonan seluruh empat balon ketum dalam kongres PSSI mendatang.

Pernyataan emosional Nugraha menambah kesan kalap sikap PSSI. Padahal, Blatter hanya mengutip apa yang telah diputuskan oleh Komite Banding PSSI. Artinya, PSSI membantah hasil kerja tim yang secara resmi dibentuknya sendiri untuk maksud khusus tersebut.

Apakah artinya ini kalau bukan PSSI sudah jeblok, terperosok pula dalam logika dan etika yang semakin tidak keruan? Pernyataan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham yang akan membela Nurdin karena dianggap “telah dizalimi” pun hanya memperdalam keterporosokan itu karena menarik lebih jauh urusan sepak bola ke ranah politik.

Sebaiknya dicermati, bagian lain dalam statuta FIFA mengatakan, diskriminasi politik (juga etnik, jender, bahasa, dan agama) adalah “strictly prohibited and punishable by suspension or expulsion” (dilarang keras dan bisa dikenakan hukuman skorsing atau pemecatan).

Kini tergantung kepada Nurdin, Nirwan, dan PSSI yang sejauh ini masih mereka kuasai. Apakah, demi melanjutkan kekuasaan, ingin lebih terperosok ke dalam pertikaian yang tidak lagi berada di jalur sepak bola murni? Atau kembali ke jalan yang benar: mematuhi semua ketentuan dalam statuta FIFA.