Sabtu, 07 Mei 2011

Klub VIse Belgia

Vise hanyalah sebuah kota kecil yang terdapat di wilayah Provinsi Liege, Belgia. Luas wilayah Vise tidak lebih dari 27,99 kilometer persegi. Dan berdasarkan survei yang dilakukan Januari 2006 jumlah penduduknya hanya sekitar 16.817 jiwa, yang sebagian besar penduduknya adalah perempuan (52,19%). Sementara sisanya adalah kaum pria (47,81%).

Meski tergolong kota kecil dengan penduduknya yang sedikit, kota Vise tidak mau ketinggalan dengan wilayah lain di Eropa dalam urusan sepakbola. Kota kecil ini bahkan sudah mempunyai klub sepakbola Cercle Sportive (CS) Vise, sejak 1924 silam.
Meski saat ini hanya bercokol di posisi kelima divisi II Liga Belgia, namun klub ini mempunyai infrastruktur yang bisa dibilang mumpuni.

Misalnya, Stadion De Ia Citi de loie yang berkapasitas 5.200 penonton serta akademi sepakbola yang punya 10 lapangan latihan.
Bukan itu saja, di Stadion Vise, terlihat banyak logo sponsor yang tertempel di dalam stadion. Hal ini membuktikan kalau klub ini begitu diminati sponsor meski hanya berada di strata kelas dua liga sepakbola Belgia.

Salah seorang direktur klub Vise mengatakan, meski menjadi klub kebanggaan warga Vise, klub ini sejak berdiri dikelola secara profesional alias tidak bergantung pada bantuan pemerintah. "Pemerintah setempat hanya meminjamkan lahan untuk lapangan berlatih di Vise Football Academie (VFA). Sementara stadion atau pengeolaan klub dijalankan secara mandiri," jelasnya.

Stadion Vise meski tidak sebesar stadion-stadion lain di Belgia, namun pengelolaanya bisa dibilang cukup oke. Misalnya, fasilitas yang disediakan untuk kenyamanan penonton dan para pemain.
Di dalam stadion, selain berjajar kursi penonton yang ada di samping lapangan, juga disediakan ruangan ber-AC untuk penonton kelas VIP dan bisnis. Di dalam ruang VIP dan bisnis ini terdapat bar yang menyediakan aneka minuman.

Untuk menikmati minuman, soft drink, bir, wine atau sampanye di sela-sela pertandingan, penonton harus menunjukan tiket. Jadi setiap tiket yang dibeli penonton yang harganya berkisar 7 euro (bisnis) dan 15 euro (VIP). Bila hanya membeli satu tiket, penonton bisa menukarnya dengan segelas bir, kopi, atau jus. Kalau beli dua tiket bisa menukarnya dengan segelas martini, whisky, wine, atau cognac.

Sementara kalau beli lima tiket bisa ditukar dengan sebotol sampanye.
Inilah salah satu cara pengelola klub dalam mencari uang, selain lewat sponsorship dan penjualan merchandise. Hal lain yang tidak kalah menariknya dalam soal pengamanan.

Tidak ada petugas keamanan di stadion dalam setiap pertandingan yang menggunakan seragam (uniform). Para polisi hanya memakai t-shirt yang dilapisi rompi sehingga tidak ada kesan angker di dalam stadion. Uniknya lagi untuk pengamanan pertandingan para polisi ini tidak dibayar oleh kub yang menggelar pertandingan kandang.

Bahkan untuk keperluan konsumsi mereka membekali diri masing-masing. Sebab tugas pengamanan pertandingan merupakan bagian dari tugas rutin mereka.
Kondisi ini tentu berbeda dengan kondisi di setiap pertandingan sepakboladi Indonesia. Kalau di Indonesia, dalam setiap pertandingan kandang, klub harus merogoh kocek puluhan juta rupiah sampai ratusan juta rupiah untuk biaya pengamanan yang melibatkan TNI atau Polri.

"Parahnya lagi, klub sudah mengeluarkan banyak uang tapi petugas jaganya seringkali meloloskan penonton tanpa tiket ke dalam stadion. Jadi klub-klub di kita tekor dua kali, " jelas salah seorang manajer klub sepakbola di Indonesia yang enggan disebutkan namanya.


Banyaknya pengeluaran klub yang mubazir dan seretnya pemasukan menjadi menjadi sebab utama banyak klub sepakbola di Indonesia yang megap-megap. Sekalipun klub tersebut masuk dalam divisi utama di Indonesia.

Kiper- Kiper Asing Yang Berkiprah di Liga Indonesia

Tidak seperti pemain di posisi lain, pemain asing yang berposisi penjaga gawang, sampai Liga Indonesia edisi 2009/2010 ini masih dapat dihitung jari. Salah satu penyebabnya, menurut gua sih, masih banyak pelatih kita yang percaya sama kemampuan penjaga gawang dalam negeri. Coba dibandingkan dengan jumlah kiper lokal yang bermain di liga Inggris, sampai sekarang kalau diliat penjaga gawang yang jadi staring line up cuma ada David James di Porstmouth, Chris Kirkland di Wigan Athletic, Joe Hart di Birmingham City, Robert Green di West Ham United, selebihnya kiper impor semua. Bukan hanya diposisi penjaga gawang utama, cadangannya pun impor semua. Coba lihat di Arsenal, Manuel Almunia dari Spanyol, Kiper keduanya, Lukasz Fabianski dari Polandia, dan kiper ketiga, Vito Mannonne dari Italia.

Hal ini juga yang sempat menjadikan Inggris krisis penjaga gawang, setelah David Seaman pensiun. Jadi masih untung Indonesia yang punya banyak penjaga gawang tangguh sebagai pilihan.

Balik lagi ke soal kiper asing yang jadi penjaga gawang utama di klub – klub Indonesia, inilah mereka :

1. Darryl Sinerine

Kiper asal Trinidad & Tobago ini, merupakan pionir penjaga gawang asing di liga Indonesia. Memperkuat Petrokimia Putra tahun 1994/ 1995, Liga Indonesia edisi perdana, Darryl menjadi andalan klubnya saat itu. Prestasinya membawa Petrokimia ke partai final liga Indonesia, yang saat itu masih bernama Liga Dunhill, walau kalah oleh Persib Bandung. Darryl bertahan beberapa musim di lndonesia, dan selalu menjadi pilihan dalam setiap laga perang bintang. Sebelumnya Darryl adalah penjaga gawang ketiga timnas Trinidad & Tobago.

2. Mariusz Mucharski

Bagian dari pertaruhan besar Persib Bandung. Mariusz datang sebagai bagian dari kuartet Polandia yang didatangkan untuk mendongkrak prestasi Persib pada tahun 2003. Kuartet tersebut terdiri dari pelatih Marek Andrez Sledzianowsk, Kiper Mariusz Mucharski, Gelandang Piotr Orlinski dan penyerang Maciej Dolega.

Ternyata, kuartet ini gagal mengangkat prestasi Persib, hanya kekalahan demi kekalahan yang Persib dapatkan. Sebagai bagian dari kuartet Polandia yang menjadi tumpuan harapan, Mariusz kena getahnya, padahal saat itu penampilannya bersama Piotr Orlinski cukup baik. Musim 2003/2004 merupakan musim pertama dan terakhir Mariusz.

3. Mbeng Jean Mambalou

Kiper asal Kamerun ini mengawali petualangan di Liga Indonesia dengan memperkuat Persija pada musim 1997/1998. Cekatan dan sulit ditaklukkan, menjadikan kiper ini andalan Persija selama beberapa musim. Lepas dari Persija, Mbeng Jean sempat memperkuat PSPS Pekanbaru dan PSMS Medan.

4. Zhen Ceng


Kiper yang mengecat pirang rambutnya ini, didatangkan dari klub Wuhan Huanghelou Cina, pada era kepelatihan Jacksen F Tiago di Persebaya. Berusia 18 tahun saat datang tahun 2005 ke Persebaya Surabaya, Cheng Zhen merupakan mantan kiper tim Olimpiade Cina. Karirnya berlangsung singkat di Liga Indonesia, karena selepas dari Persebaya semusim, Cheng Zhen pulang kembali ke Cina.

5. Evgheni Hmaruc

Kiper Timnas Moldova ini didatangkan oleh Persija pada musim 2007/2008. Menjadi andalan Persija dalam 37 pertandingan di musim itu. Penampilannya cukup menjanjikan. Hanya saja Chmaruc tidak bertahan lama. Petualangannya di Liga Indonesia hanya satu musim saja. Kini Chmaruc bermain untuk Nistru Otaci di Liga Moldova.

6. Sinthaweechai “Kosin” Hathairattanakool


Agaknya cuma ada 3 kiper asing yang sukses malang melintang di Liga Indonesia. Setelah Darryl dan Mbeng Jean, kiper timnas Thailand, Kosin adalah penerus mereka. Pandai membaca bola, penempatan posisi yang baik, dan tangguh dalam situasi one on one, Kosin langsung menjadi idola pada musim pertamanya bersama Persib Bandung musim 2006. Bahkan kaum hawa pun mengidolakannya. Bahkan Kosin menjadi pemain pilihan utama dalam poling SMS penentuan pemain skuad perang bintang 2006.

Pada musim 2009/2010, Kosin kembali bergabung bersama Persib Bandung bersama rekannya Suchao Nuntcnum. Kosin yang mengganti namanya menjadi Sinthaweechai Hathairattanakool, mampu menghadirkan kembali penampilan apiknya bersama Persib, dan menjadi bagian tak terpisahkan Persib Bandung. Namun ternyata musim ini Kosin hanya tampil sampai putaran pertama, karena statusnya hanya pinjaman dari klub Chonburi FC Thailand.