Menjelang Piala Dunia 1934, pelatih Italia, Vittorio Pozzo, mengatakan jika oriundi, sebutan pemain asal Amerika Latin di Italia, berani mati untuk Italia, maka mereka layak bermain untuk Gli Azzurri. Pernyataan untuk menepis kritikan sekaligus tantangan kepada empat bintang Serie A, yakni Raimundo Orsi, Luis Monti, Attilio Demaria, dan Enrique Guaita, yang baru menjalani naturalisasi.
Soal kualitas, publik Italia telah melihat langsung kapasitas para pemain tim nasional Argentina itu karena mereka telah bertahun-tahun tampil di Serie A. Orsi dan Monti bahkan menjadi sosok yang mengantarkan Juventus menjadi juara Serie A lima kali beruntun pada 1931 hingga 1935. Demaria bersama Inter menjadi pesaing Juventus sebagai runner-up tiga kali pada 1933 hingga 1935.
Pozzo dan para pemain bukan kaum fasis meski di era itu Italia dikuasai pemimpin fasis, Benito Mussolini. Namun, Pozzo menekan para pemain untuk habis-habisan demi negara fasis meski nyawa taruhannya. Dalam setiap laga, Pozzo pun selalu meminta timnya untuk melakukan salam fasis demi menumbuhkan nasionalisme. Hasilnya Italia menjadi juara di Piala Dunia 1934 dan Pozzo mempertahankanya pada 1938.
Menyangkut proses naturalisasi, banyak negara termasuk Italia dan Argentina menerima dual nationality sehingga kewarganegaraan Argentina yang dimiliki Orsi dkk. tidak hilang.
Naturalisasi karena faktor politik juga kerap terjadi seperti saat Ferenc Puskas pindah warga negara ke Spanyol karena Uni Soviet mengintervensi negaranya, Hongaria, pada 1956. Namun, setelah Omar Sivori, pemain Argentina yang melakukan naturalisasi ke Italia pada 1961, FIFA melarang perpindahan kewarganegaraan pemain, kecuali karena alasan imigrasi atau faktor keturunan dengan memiliki darah negara baru yang dibelanya.
Pada aturan FIFA, pemain bisa pindah warga negara jika memenuhi syarat: A. Lahir di wilayah dari asosiasi terkait. B. Ibu kandung atau ayah biologis lahir di wilayah dari Asosiasi terkait. C. Nenek atau kakeknya lahir di wilayah dari Asosiasi terkait. D. Telah tinggal terus-menerus selama minimal lima tahun setelah usia 18 tahun di wilayah asosiasi terkait.
Negara seperti Belgia juga terbuka kepada imigran dengan menerima pemain asal Kroasia, Josip Weber dan Branko Strupar. Begitu pula Austria, yang menerima pemain keturunan Kroasia, Ivica Vastic.
Setelah Juergen Klinsmann, Oliver Bierhoff, dan Ulf Kirsten pensiun, Jerman kerap memakai pemain imigran seperti Fredi Bobic (Slovenia), Paulo Rink (Brasil), Sean Dundee (Afrika Selatan), Oliver Neuville (Swiss-Prancis), Gerald Asamoah (Ghana), Kevin Kurany (Hungaria-Brasil), Miroslav Klose dan Lukas Podolski (Polandia), hingga Mesut Oezil (Turki).
Polandia menerima lamaran pemain asal Nigeria, Emanuel Olisadebe. Swedia memanfaatkan imigran Yugoslavia, Zlatan Ibrahimovic. Prancis bahkan sukses menjadi juara di Piala Dunia 1998 dan juara di Euro 2000 ketika dibela sebagian besar pemain imigran seperti Zinedine Zidane (Aljazair), Patrick Vieira (Senegal), Marcel Desailly (Ghana), Lilian Thuram dan Thierry Henry (Guadaloupe), serta Christian Karembeu (Kaledonia Baru).
UU Kewarganegaraan
Kisah-kisah naturalisasi tersebut semuanya atas kemauan sendiri karena alasan imigrasi atau telah tinggal dalam jangka waktu tertentu di negara barunya. Deco, misalnya, rela menunggu enam tahun agar memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraan Portugal.
Sementara itu, kabar naturalisasi pemain yang tengah bergulir di negeri ini terasa berbeda. PSSI mencari pemain keturunan yang memiliki darah Indonesia di Eropa dan menawari mereka untuk pindah warga negara dan membela timnas. Jika terjadi, hal itu berbenturan dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI. Naturalisasi atau pewarganegaraan merupakan tata cara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan RI.
Bagaimanapun, para pemain keturunan yang telah memiliki kewarganegaraan lain statusnya adalah orang asing karena kita tidak mengenal dual nationality. Pada pasal 9 ayat B ditegaskan bahwa jika ada orang asing yang ingin mendapatkan warga negara Indonesia, pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara RI paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut. Pada ayat F juga disebutkan jika memperoleh kewarganegaraan RI tidak menjadi berkewarganegaraan ganda.
Di luar itu, ada jalur khusus pemberian kewarganegaraan dari presiden sesuai pasal 20, yakni orang asing yang telah berjasa kepada negara RI atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi kewarganegaraan RI oleh presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR RI, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda.
Saat tim nasional kalah 1-7 dari Uruguay, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di SUGBK bahkan sempat bertemu beberapa pemain asing yang oleh PSSI ditawari untuk membela timnas. Pertanyaannya, apakah mereka telah berjasa bagi negeri ini sehingga layak diperlakukan spesial? DPR pun harus memberi pertimbangan untuk para pemain yang sebetulnya tidak akan memberi jaminan munculnya prestasi.
Selain itu, maukah mereka melepaskan kewarganegaraannya karena kita tidak mengenal kewarganegaraan ganda? Kabarnya ada pemain yang tertarik menjadi warga negara kita untuk beberapa waktu saja dan setelah tidak bermain untuk timnas pindah lagi warga negara.
Ironis sekali, negara ini seperti mengemis dengan menawar-nawarkan kewarganegaraan. Padahal penduduk negeri ini telah mencapai 240 juta jiwa dan 31 juta orang berada di bawah garis kemiskinan. Menjadi pengkhianatan ketika memberi keistimewaan kepada orang-orang yang belum pernah tinggal di sini, belum tentu sepenuh hati apalagi rela mati untuk negeri ini, dan belum tentu memberi kebanggaan prestasi.