Kian jebloknya prestasi tim nasional Merah Putih dianggap sebagai cerminan dari kualitas kompetisi sepak bola dalam negeri. Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dituding tak mampu menciptakan kompetisi sepak bola yang berkualitas dan sehat.
Menurut mantan Pelatih PSMS Medan Parlin Siagian, PSSI sebagai penanggung jawab kompetisi sepak bola di Tanah Air tak pernah sadar, kualitas kompetisi semakin terpuruk beberapa tahun terakhir. Padahal dari indikator yang kecil saja, orang bisa menilai ada yang salah dengan kompetisi sepak bola di Indonesia.
”Banyak aturan yang kemudian justru dilanggar pengurus PSSI sendiri. Ini menjadi penyebab banyak pertandingan yang justru mengakibatkan perkelahian. Ada pertandingan yang tak boleh ditonton suporter. Ini kan buah pengorganisasian sepak bola yang enggak betul,” ujarnya.
Menurut Parlin, pengorganisasian kompetisi yang tidak sehat menjadi pangkal merosotnya prestasi tim nasional. Dia melihat, kualitas pemain sebenarnya tak kalah dengan negara Asia lainnya. Namun, sayang, kualitas mereka tak pernah terasah dalam kompetisi yang menjunjung tinggi sportivitas. ”Masalahnya selalu sama, kompetisi sepak bola kita dikuasai mafia. Jadi semua tim menghalalkan segala cara untuk menang,” katanya.
Secara terpisah, mantan pemain tim nasional era 1960-an, Bob Hippy, mengatakan, jual beli hasil laga berimbas buruk pada tim nasional. ”Jual beli hasil pertandingan memperburuk kualitas kompetisi yang imbasnya sudah pasti kepada tim nasional. Kompetisi seperti itu tidak akan menghasilkan pemain yang berkualitas,” ujar Hippy.
Hippy menjelaskan, kualitas pemain akan semakin terasah jika bermain pada kompetisi yang bermutu. Menurutnya, ada tiga kelemahan yang mencolok pada kompetisi kali ini, yakni materi pemain lokal yang tidak membaik, pemain asing yang tidak memadai, serta kualitas wasit yang juga buruk, bukan hanya dari sisi teknis, melainkan juga moral, terbukti dengan terbongkarnya kasus mafia wasit.
Parlin menambahkan, PSSI juga selalu jatuh dalam lubang yang sama saat membina tim yunior. ”Enggak tahu mungkin karena proyek sehingga pengurus PSSI ramai-ramai berebut jika ada timnas yunior dikirim ke luar negeri. Padahal tak pernah ada yang berhasil dari tim usia muda yang dikirim ke luar negeri. Itu karena di sana mereka tak pernah berkompetisi dengan benar,” ujarnya.
Soal pembinaan pemain usia muda juga menjadi sorotan mantan pemain PSMS dan tim nasional era 1980-an, Ricky Yakob. Menurut Ricky, sejak era Liga Indonesia, saat kompetisi perserikatan dan Galatama digabung, praktis tak ada lagi pembinaan pemain usia muda. Penggabungan ini mengakibatkan banyak kompetisi internal tim perserikatan, yang sebenarnya menjadi wadah pemain muda, mati suri, kalau tidak dikatakan mati selama-lamanya.
”Coba sekarang, mana ada lagi kompetisi di (internal) perserikatan. Inilah salahnya model kompetisi sekarang ini (menggabungkan perserikatan dan Galatama). Tak ada regenerasi karena tidak ada pembinaan pemain muda,” katanya.
Mantan pemain tim nasional PSSI tahun 1977, Yopie Lumoindong, menilai buruknya prestasi tim nasional PSSI tidak lepas dari perubahan paradigma pemain bola. Sejak sepak bola Indonesia memasuki era profesionalisme, dedikasi pemain terhadap tim nasional menurun. Selain itu, buruknya prestasi juga diakibatkan kegagalan pembinaan PSSI.
Kompetisi klub anggota perserikatan, misalnya, dilaksanakan asal-asalan. PSSI juga hanya memerhatikan kompetisi Liga Super, tetapi lalai memerhatikan kompetisi anggota perserikatan. PSSI juga tidak memerhatikan kompetisi tingkat yunior.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar