Serangan balik yang cukup cepat oleh para pemain Pardedetex ke gawang Korea, membuat pertahanan Korea kocar-kacir. Seorang stopper Pardedetex berhasil menerobos jantung pertahanan Korea, melewati hadangan beberapa pemain belakang Korea.
Brak….! Tackling keras yang dilakukan pemain Korea di kotak pinalti menghentikan langkahnya. Tanpa ragu lagi wasit pun menunjuk titik putih karena dinilai pemain belakang Korea telah membuat pelanggaran.
Itulah Suharno, pemain belakang yang terkenal lugas, keras dan tak kenal kompromi. Serangan baliknya ke gawang Korea pada Kejuaraan Marah Halim Cup pada tahun 1980-an, menjadi jalan pembuka membobol gawang Korea yang terkenal solid. Heri Kiswanto yang jadi algojo pun tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Meskipun, Korea akhirnya menang 3-1.
Momen itulah yang sampai saat ini tidak pernah hilang dalam benak Suharno. Pasalnya, dari beberapa tim yang ikut kejuaran tersebut semuanya mengalami kekalahan telak di atas 6 gol atas Korea.
Namun, pengawalan ketat yang dilakukannya berhasil meminimalisir serangan Korea menjadi gol. Malah, serangan baliknya membuahkan gol bagi timnya.
“Yang paling membanggakan, saat even Marah Halim. Ketika melawan Korea, tim-tim lain seperti PSMS bisa kalah sampai 6-0. Tapi Pardedetex hanya kalah 3-1. Dan satu-satunya gol itu gara-gara saya yang ditakling oleh pemain Korea di kotak pinalti. Meskipun akhirnya tim saya kalah,” ujar Suharno saat di temui Global di rumahnya, Gg Rohis Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang.
Sikap yang lugas, keras dan tak kenal kompromi ini jugalah yang membuat mantan stopper Klub PSMS Medan, Pardedetex, Semen Padang dan PSSI ini dijuluki Galion serta Batang Kelapa Sawit.
”Kalau sudah main sepak bola, apalagi saya bagian bek, jadi saya selalu keras dan tak kenal kompromi. Tak jarang saya sering terkena peringatan dari wasit,” papar pria kelahiran tahun 1952 di Kerasaan, Perdagangan ini.
Suharno menceritakan, awalnya ia adalah seorang pemain bola kelas kiyam (kaki ayam). Tiap hari ia bermain bola bersama dengan kawan-kawan di daerah Perkebunan Nusantara 4. Dari sinilah ia bergabung dengan klub Dosin (Dolok Sinumbah), klub milik perkebunan.
Di usianya yang ke-20 tahun, ia lalu bergabung di PSS Simalungun sekaligus bekerja di perkebunan.
Pada saat seleksi Pra PON, Suharno lantas ditarik untuk memperkuat tim PSMS bersama dengan Suimin Diharja dan Alm Syarifudin Jaya, yang sama-sama anak daerah. Ia kemudian menjalani pusat pelatihan di PSMS, hingga kemudian di rekrut oleh tim Ayam Kinantan itu.Bersama dengan Nobon, Sunardi, Parlin, Wibisono, Posan, Suparjo, Ismail Ruslan, Taufik Lubis dan Edi Juniadi, Suharno menjadi tulang punggung kesebelasan PSMS Medan.Bahkan, mereka berhasil mengantar tim kebanggan Kota Medan Juara II di Kejuaran Marah Halim Cup setelah kalah dari Burma. Karena diminati oleh Pardedetex, Suharno hanya beberapa tahun saja bergabung dengan PSMS.
“Setelah dari PSMS Medan, pada tahun 1979 saya pindah ke Pardedetex. Dari sinilah kemudian saya diminta untuk memperkuat PSSI untuk ajang Olympiade di Malaysia 1980 dan Pra Piala Dunia 1982,“ ujar Suharno yang mengaku sudan pernah menjajal kekuatan Australia, Korea, Jepang, PSV Eindhoven, Ajax Amsterdam dan juga Lokomotiv Rusia.
Sukses memperkuat Pardedetex dan berhasil masuk di tim PSSI, Suharno kemudian bergabung dengan Semen Padang. Di klub ini, Suharno gantung sepatu sebagai pemain sepak bola.
Pada tahun 1987, setelah memutuskan gantung sepatu, Suharno dipercaya menjadi asisten pelatih Semen Padang selama dua periode.
Bukannya lupa, tapi aku malah ndak tahu sama sekali. Hehe
BalasHapusIa ini dulu Bek legendaris timnas juga. Tapi sayang sekarang beliau hidup susah dengan hanya memiliki rumah yang sangat sederhana. Menurut aku komposisi Suharno bersama Nobon cs adalah tim PSMS terbaik sepanjang masa.
BalasHapusPadahal pengalaman Beliau aku yakin sangat bermanfaat bagi para pemain muda.
BalasHapusYa.. sayang sekali banyak pemain bola kita yang tidak di perhatikan kesejahteraannya setelah mereka tua. Sebenarnya di era tahun 1990 an PSMS juga memeliki striker yang sangat haus Goal. Namanya Soeharto yang bermain di PS ABRI Medan. Mustinya ia sangat layak untuk memperkuat Timnas pada era itu. Tapi sayang striker 2 asal Perserikatan seperti Soeharto dan Kekey Zakaria dari Persib, tidak di lirik sama sekali di timnas.. Padahal kemampuan mereka tidak kalah dari striker 2 timnas seperti Singgih Pitono atau Rocky Putiray pada saat itu.
BalasHapusLagi-lagi masalah internal lembaga sepakbola kita.Hehe
BalasHapus