Iswadi Idris , yang lahir di Banda Aceh, 18 Maret 1948, menghabiskan hidupnya untuk sepak bola. Ketika berusia sembilan tahun, Iswadi sudah bergabung dengan klub Merdeka Boys Football Association Jakarta. Sampai akhir hayatnya pun, ia masih duduk sebagai manajer teknik Badan Tim Nasional Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia.
Banyak hal yang membuat dia patut dikenang. Pemain yang selalu memilih kaus bernomor 13 baik di tim nasional maupun klub ini merupakan gelandang kanan dengan inteligensi tinggi bahkan jenius, berkarakter, dan berdisiplin tinggi. Ia bisa mengatasi tinggi badannya yang hanya 163 sentimeter—sehingga ia dijuluki si Boncel—dengan gerakannya yang mematikan lawan dan tendangan kerasnya dalam mencetak gol.
Sebagai sesama pemain nasional di era 1970 sampai 1980-an, seluruh teman-temannya merasakan karisma kepemimpinannya. Sebagai kapten, di tim nasional, Jayakarta, atau Persija, dia sangat disegani, baik di dalam maupun di luar lapangan, karena sifat tegas dan mengayomi anak buah.
Beberapa kali Timnas menjuarai turnamen di tingkat klub ataupun saat memperkuat tim nasional di dalam dan luar negeri. Dia berperan besar mengantar Indonesia menjadi tim yang disegani. Tim Merah-Putih pernah menjuarai Merdeka Games di hadapan publik tuan rumah Malaysia. Kami juga membawa pulang trofi Piala Raja dari kandangnya, Thailand.
Pada saat itu timnas sering melanglang buana, termasuk ke Eropa, pada 1974 dan 1976. Dan kenyataannya masa itu, tim nasional sangat ditakuti di Asia. Itu sebabnya, Iswadi dkk sering bermain dengan klub terkenal seperti Santos (Brasil), Cruzeiro (Brasil), Benfica(Portugal), Espanyol (Spanyol), Atletico Madrid (Spanyol), dan juga Manchester United (Inggris).
Prestasi terbaik Indonesia adalah pada 1976 di ajang pra-Olimpiade Montreal. Selangkah lagi tim Merah-Putih bakal berlaga di pesta olahraga dunia itu. Pertandingan berakhir seri sehingga harus adu penalti. Iswadi sebagai kapten melihat kaki Risdianto gemetar ketika akan mengeksekusi tendangan penalti keempat.
Ia kemudian menunjuk Anjas Asmara. Meski engkel kaki bengkak, ia tetap pada putusannya. Sayang tendangan Anjas gagal sehingga Timnas pun kalah 3-4. Tentu semua terpukul, tapi Iswadi tampak tabah dan sambil memeluk sahabatnya Anjas Asmara ia mengatakan, ”Jangan putus asa, masa depanmu masih panjang. Kegagalan itu merupakan kehendak Yang Mahakuasa.”
Kesetiakawanannya patut diteladankan. Pernah ketika ia memperkuat Persija melawan Persatuan Sepak Bola Medan dan Sekitarnya (PSMS), Nobon mencederai Anjas Asmara. Pada saat itu juga, Iswadi dengan gaya kungfunya memukul wajah Nobon karena ia tahu persis bintang Medan ini dibesarkan oleh orang tua saya. Bukan hanya sekali ia memukul lawan untuk membela kawan. Risdianto, mantan pemain nasional lain, juga pernah dibelanya.
Tidak selalu hubungan Iswadi dengan sesama pemain bola berlangsung mulus. Sebagai pemain lama di Jayakarta, Anjas Asmara, Andi Lala, dan Sofyan Hadi pernah berang kepada Iswadi dan Sultan Harhara, yang masuk belakangan tapi mendapat fasilitas lebih baik. Sebagai protes, mereka sepakat bersama-sama keluar sehingga prestasi Jayakarta terus merosot.
Isu suap pernah menghampiri Iswadi ketika Indonesia dikalahkan Hong Kong di pra-Piala Dunia 1978. Saya tentu tidak percaya Iswadi bisa disuap, tapi memang kekalahan itu sangat janggal karena biasanya kami bisa mengalahkan mereka 5-0. Tapi tuduhan itu tidak pernah terbukti.
Iswadi memiliki kebiasaan unik: muntah sebelum bertanding. Bisa jadi dia stres. Tapi, begitu bisa mengeluarkan isi perut, ia bisa bermain bagus dan lebih fit. Untuk menghilangkan ketegangan sebelum bertanding, ia biasa membaca komik Kho Ping Ho sambil tiduran dan mengangkat kakinya ke tembok.
Lain lagi cerita Yudo Hadianto, pemain yang di antara teman dekatnya disapa ”Papi”.”Di lapangan, kalau tidak ribut, itu bukan Iswadi. Namun, ributnya dia itu bertanggung jawab. Dia tidak pernah lari dari tanggung jawab,” ujar Papi yang selama tujuh tahun bermain bersama Iswadi, di Persija, Pardedetex Medan, dan timnas pada tahun 1970-an.
”Saya masih ingat ketika kami bermain di Bangkok, Thailand, dalam Piala Raja tahun 1968. Iswadi bersama-sama dengan Soetjipto Soentoro, Abdul Kadir, dan Waskito disebut sebagai ’The Rocket Stars from Asia’. Ini karena kecepatan dan kelincahan mereka,” lanjut Papi.
Adapun rekan Iswadi yang lain, Djunaidi Abdilah, berkomentar. ”Dia itu pemain besar yang patut dikenang generasi sekarang.”
Ya, Iswadi memang seorang pemain sepak bola andal. Hampir semua posisi, mulai dari bek, libero, penyerang sayap, dan gelandang pernah dilakoninya.
”Yang hebat dari Is, dan patut saya acungi jempol. Meski terkadang dia kurang mendapat simpati penonton, di lapangan Is selalu memperlihatkan kualitasnya sebagai seorang pemain sepak bola berkelas.”
”Dia tidak pernah bermain dengan setengah hati. Itu yang membuat dia merupakan salah satu pemain besar yang tidak pernah dilupakan pencinta sepak bola di Tanah Air. Penonton yang tadinya antipati kepadanya akhirnya berbalik memujinya,” tutur Risdianto.
Banyak rekan seangkatannya di klub ataupun tim nasional yang mungkin sependapat dengan saya tentang pribadi Bang Is. Dia tidak memiliki rasa humor yang tinggi. Namun, di balik sikapnya yang tegas dan keras itu sebetulnya terkandung sikap yang sangat kuat dalam kesetiakawanan.Kini Cita-cita Seorang Iwadi Idris untuk hidup demi sepak bola tercapai sudah. Bahkan pada saat akhir hayatnya sebelum stroke, ia masih bertugas memantau pemain tim nasional di bawah 16 tahun berlatih di Senayan, Jakarta. Selamat jalan, Bang Is.
DATA ISWADI IDRIS:
Nama lengkap: Iswadi Idris
Julukan: Boncel, Bos
Lahir: Banda Aceh (Indonesia), 18 Maret 1948
Posisi: Gelandang/bek kanan
No. Kostum: 13
Karier klub: MBFA (1957-1961), IM Jakarta (1961-1968, 1970-1974), Pardedetex (1968-1970), Western Suburb Australia (1974-1975), Jayakarta (1975-1981), Persija (1966-1980)
Karier timnas: 1968-1980
Prestasi: Juara TIM Cup (1968), Merdeka Games (1969), Pesta Sukan (1972), Anniversary Cup (1972), Pemain Terbaik Piala Marahalim 1973.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar