Sebelum berkiprah di Indonesia pada 1982, Fandi berlaga di pertandingan demi pertandingan di negaranya. Ia memang pemain elegan dan andal di negerinya. Barangkali bakat sepak bola ia warisi dari ayahnya, Ahmad Wartam, yang mantan penjaga gawang Singapura 1963-1968 dan anggota lari 4x100 meter pada dekade yang sama. Pertama kali ia bergabung dengan tim King of Tigers.
Kalau saja saat itu Fandi memilih bergabung dengan Ajax Amsterdam, mungkin ceritanya akan lain bagi kesebelasan Niac Mitra. Sebelum dipinang oleh Niac Mitra, Fandi--kala itu baru 17 tahun--sudah ditawari oleh Ajax dengan gaji US$ 40 ribu per tahun untuk kontrak selama tiga tahun yang dibayar di muka. Tapi, ia menampik tawaran itu lantaran tidak cocok pada salah satu isi perjanjian: tidak dapat sewaktu-waktu pulang ke Tanah Air jika tidak dalam keadaan darurat sekali.
Akhirnya Fandi menerima pinangan Niac Mitra dengan bayaran US$ 75 ribu untuk kontrak satu tahun dan dapat diperpanjang. Bukan sekadar bayaran itu jika Fandi lebih mantap bergabung dengan Niac Mitra. Pihak Niac Mitra memberikan keleluasaan baginya untuk dapat menjenguk keluarganya di Singapura. Toh, jarak negara yang dekat serta Fandi merasa di kampung sendiri--ayahnya, Ahmad Wartam, berdarah Jawa Pacitan.
Tak rugi Niac Mitra merekrut Fandi dan David Lee. Mereka memang patut menjadi andalan. Terbukti dua pemain asal Singapura itu mampu menunjukkan prestasi yang elegan. Bersama pemain Niac Mitra lainnya, antara lain Joko Malis, Dullah Rahim, dan Rudy Kelces; mereka mengalahkan PS Tunas Inti dengan 2-0 pada pertandingan putaran 1982-1983. Tercatat, selama satu tahun dikontrak Niac Mitra satu musim kompetisi, Fandi sebagai striker telah menyumbangkan 13 gol bagi Niac Mitra. Berkat prestasinya membawa Niac Mitra jadi juara Galatama, Fandi Ahmad dan David Lee diangkat jadi warga kehormatan kota Surabaya.
Keluar dari Niac Mitra, pada 1983, karena PSSI melarang adanya pemain asing, pria dengan tinggi 187 sentimeter itu meninggalkan Singapura untuk main bagi klub FC Groningen, Belanda. Dua tahun kemudian, ia bergabung dengan Federal Territory (sekarang bernama KLFA). Fandi pernah pula ditawari untuk bermain di Jepang dengan bayaran bisa mencapai Rp 430 juta setahun pada 1991.
Pada saat itu, menurut laporan The Straits Times Singapura, Fandi mendapat bayaran sekitar Rp 110 juta per tahun dari klub Pahang, Kuala Lumpur, Malaysia. Sampai beberapa tahun kemudian, di negerinya Fandi masih mengukir prestasi. Menjadi ujung tombak bagi Geylang United Singapura, suami Nur Sarah itu terpilih sebagai pemain terbaik Asia pada Juni 1996 oleh Konfederasi Sepak bola Asia. Tak hanya jago di lapangan sepak bola, ia pun bisa berakting di sinetron 60 episode, yang berkisah tentang pemain sepak bola produksi patungan Singapore Television Twelve dan Communications 200.
Sampai 1999, ia masih aktif di arena sepak bola Negeri Singa. Bukan sebagai pemain, tetapi menjadi asisten bagi pelatih Vincent Subramaniam dalam memperkuat tim negerinya di SEA Games XX Brunei Darussalam.
Perjalanan Karir :
Sebagai pemain
• Niac Mitra Surabaya (1982-1983)
• FC Groningen (1983-1985)
• Kuala Lumpur FC (1986-1990)
• OFI Crete (1990)
• Pahang FC (1991-1992)
• Singapura (berkompetisi di Liga Malaysia) (1993-1994)
• Geylang United (1996)
• Singapore Armed Forces FC (1997-1999)
Sebagai pelatih
• tim nasional sepak bola Singapura (asisten pelatih; 1999)
• Singapore Armed Forces FC (2000-2003)
• tim nasional sepak bola Singapura (asisten pelatih; 2004-2006)
• U-23 Singapura (berkompetisi di Liga Singapura) (2006)
• Pelita Jaya (2006-)