Jumat, 05 Februari 2010

Awal yang baik akhir yang suram

Turnamen segitiga antara Ajax (Belanda),Manchester United (MU) dan timnas PSSI Tamtama Juni 1975. menjadi babak baru sejarah kebangkitan timnas Indonesia di era 70an.

Penampilan PSSI Tamtama lumayan, bermain imbang tanpa gol melawan MU 0-0 lewat pertandingan yang cepat dan menarik. PSSI Tamtama saat itu dalam masa peralihan dan dilatih AE Mangindaan-Endang Witarsa yang merupakan cikal bakal timnas PSSI Pra-Olimpiade 1976 yang diasuh Wiel Coerver.

Timnas Pra-Olimpiade ditulangbelakangi sejumlah bintang yang sampai kini masih dikenang para penggemar, seperti Iswadi Idris, Ronny Pattinasarany, Junaedi Abdillah, Ronny Pasla, Sutan Harhara, Sofyan Hadi, Andi Lala, dan Anjas Asmara. Pada masa peralihan itu, di PSSI Tamtama masih ada generasi yang lebih senior, seperti Tumsila, Waskito, Surya Lesmana, Abdul Kadir, dan Jacob Sihasale. Pembinaan profesional ala PSSI Pratama menjadi awal kesadaran PSSI melangkah ke kompetisi profesional Lembaga Sepak Bola Utama (Galatama) yang disahkan Oktober 1978 dan digulirkan awal 1979.

Timnas dekade 1958-1986 disegani. PSSI lolos dari penyisihan grup Asia-Afrika untuk Piala Dunia 1958 setelah menyingkirkan China. Namun, Bung Karno memerintahkan timnas tak melanjutkan penyisihan babak selanjutnya karena berhadapan lawan Israel yang eksistensinya tidak diakui Pemerintah RI. Pada tiga dekade selanjutnya, timnas, yang kala itu diperkuat generasi Ramang, Soetjipto Soentoro, Iswadi, sampai Herry Kiswanto menduduki peringat papan atas berbagai turnamen di kawasan Asia Pasifik.

Mereka terbiasa jadi juara atau paling sedikit lolos ke final turnamen-turnamen bergengsi, seperti Piala Anniversary di Jakarta, Piala Kemerdekaan di Malaysia, Piala Raja di Thailand, Piala Aga Khan di Pakistan, atau Piala Presiden di Korea Selatan. PSSI A yang terdiri dari pemain-pemain senior bahkan pernah berlaga versus PSSI B (tim yunior) di final Piala Tiger di Singapura. Para pencinta belum melupakan prestasi timnas tahun 1976, tinggal selangkah lagi Iswadi Idris dan kawan-kawan lolos ke Olimpiade Toronto 1976 saat di final di GBK ditundukkan Korea Utara melalui adu penalti 4-5 (0-0, 0-0) yang amat menegangkan.

Setelah generasi tersebut muncul generasi Herry Kiswanto, Dede Sulaeman, Ricky Jakobi, Rully Neere, Elly Idris, Ristomoyo, Zulkarnain Lubis, dan sebagainya. Merekalah yang membawa tim nasional ke semifinal Asian Games 1986 di Korea Selatan. Mereka juga yang meloloskan Indonesia ke prestasi terbaik dalam sejarah PSSI, yakni ke babak penyisihan Zona Asia ke Piala Dunia 1986 meskipun akhirnya ditaklukkan Korsel.

Berkat gengsi itu Indonesia selalu kedatangan timnas/klub dari Eropa dan Amerika Latin sejak era stadion nasional di Ikada sampai GBK. Di antara nama-nama beken itu terdapat kiper Uni Soviet Lev Yashin, si ”Mutiara Hitam” Pele, libero Jerman Barat Franz Beckenbauer, otak ”total football” Johan Cruyff, Euse

bio dari Portugal, ujung tombak Argentina Mario Kempes, bintang Belanda berambut gimbal Ruud Gullit, dan lain-lain. Terakhir kali timnas yang lolos ke Piala Dunia 1986, Paraguay bahkan mau beruji coba dengan PSSI yang tahun itu lolos ke semifinal Asian Games 1986.

Dalam periode 1975-1976 saja tak terhitung klub yang datang ke Jakarta, juga Medan dan Surabaya. Sebut saja klub Argentina yang menjuarai Piala Libertadores 1974, Independiente dan juga sebuah klub lain dari negeri elite sepak bola itu, Rosario Central. Kemudian ada juga Dnepr dari Uni Soviet, Offenbach Kickers dari Jerman Barat, Benfica dari Portugal, Grashopper (Swiss), Middlesex Wonderers dan Stoke City (Inggris), Hajduk Split (Yugoslavia), Brno (Cekoslovakia), dan lain-lain. Data tahun 1975 menunjukkan, timnas dalam pertandingan di dalam dan luar negeri memenangi sembilan pertandingan, kalah sembilan kali, seri tiga kali, dengan rekor gol 40-39.

Selain menjuarai berbagai turnamen di Asia Pasifik, timnas PSSI juga disegani karena keterampilan individual sejumlah pemain yang dilirik klub-klub di kawasan ini. Abdul Kadir dikontrak klub Liga Hongkong, Seiko, dengan bayaran 5.000 dollar Hongkong per bulan. Di klub lain Liga Hongkong, McKinnons, sudah ada Surya Lesmana, Jeffrey Pranata, dan Risdianto. Iswadi hijrah ke Western Suburbs di Melbourne, Australia. Junaedi Abdillah sempat dites sebuah klub Belanda, Go AheadEagles. Belakangan ada pula, misalnya, Ricky Jakobi yang dikontrak klub Jepang, Yanmar.

Prestasi meningkat pada tahun 1970-an berkat Galatama ketika PSSI dipimpin oleh Ketua Umum Ali Sadikin. Galatama merupakan wujud dari PPSN (Pola Pembinaan Sepak Bola Nasional) yang menempatkan kompetisi profesional sebagai ”universitas” yang jadi pusat rekrutmen pemain nasional. Telah terbukti dari Galatama itulah timnas lolos ke babak akhirpenyisihan grup Zona Asia dan ke semifinal Asian Games 1986. Galatama pula yang sukses mengundang keterlibatan ”oran g-orang gila bola” mendirikan klub seperti BennyMulyono (Warna Agung), F Hutasoit (Jayakarta), Benniardi (Tunas Inti), Syarnoebi Said (Krama Yudha), dan keluarga Pardede (Pardedetex).

Teori dasar olahraga mengatakan klub pemangku kepentingan pembinaan untuk menggapaiprestasi tertinggi. Logika itu yang ditegakkan Galatama. Pada kenyataannya, pembinaan yang mengandalkan perserikatan terbukti gagal. Jumlah perserikatan lebih dari 300 entitas, tetapi lebih dari 90 persen tak menjalankan tugas pokok memutar roda kompetisi. Oleh Ali Sadikin (juga para ketua umum era-era selanjutnya sampai kepemimpinan Ketua Umum Kardono), peranan perserikatan dibatasi untuk pembinaan amatir. Pembagian fungsi pembinaan PPSN ini sudah berjalan ideal, tetapi berantakan ketika PSSI dipimpinKetua Umum Azwar Anaz yang menyatukan Galatama dengan perserikatan pada awal 1990-an.

Kekeliruan penyelenggaraan kompetisi itulah yang mengakibatkan prestasi timnas terpuruk dan kondisi memprihatinkan ini telah berjalan hampir 20 tahun. Secara perlahan-lahan BLBI berupaya mengembalikan idealisme Galatama dan perjuangan itu tampaknya masih panjang. Prestasi timnas sudah jauh di bawah era 1958-1986, stok pemain berbakat makin menipis, jumlah penggemar berkurang, dan tamu asing makin malas bertandang.

7 komentar:

  1. Sekarang, aneh, ketika Indonesia mau kedatangan tamu besar, contoh MU, eeee malah ada mercon. Semoga dengan keberadaan Kompetisi sekarang yang kelihatannya mulai maju (berpikir positif aja lah, walau...) dan Thanks buat Hendri M (yang membuat sepakbola menjadi masalah nasional, sampai dibahas di MetroTV) muga-muga Sepakbola Indonesia mampu menyilaukan dunia. Hehe
    Biar kita yang mengekspor, tidak melulu ngimpor.

    BalasHapus
  2. Setuju. Mungkinnanti harapan semua pencinta sepakbola nasional akan segera terhujud. Karena Bulan depan rencananya akan ada kongres dari para dewan Pers mengenai permasalahan PSSI. Dan kongres yang sudah di dukung SBY ini, memiliki agenda untuk membekukan kepengurusan Nurdin Halid cs yang terbukti GAGAL TOTAL dalam 8 tahun terakhir. Sutiyoso, Bob Hippy dan Yusuf Rizal nampaknya yang berminat maju sebgai ketua umum yang baru

    BalasHapus
  3. Wah, kalo bener dibekukan. Sikaaaaat. Hhehe. Ganti yang baru. Siapapun calon ketum muga2 The Right Man in The Right Place.

    BalasHapus
  4. Setuju turunkan Nurdin Halid cs, segera. PSSI sekarang ibrat kayak sarang MAFIA

    BalasHapus
  5. http://www.tonggos.com/2015/11/hadi-mulyadi-dan-masa-kejayaan-sepak.html

    BalasHapus
  6. Indonesia memiliki sederet pemain tangguh

    BalasHapus