Senin, 22 Februari 2010

Nasrul Koto Mutiara Arseto Solo


Nasrul Koto adalah “mutiara” yang ditemukan Nobon. Pelatih sepak bola asal Sumatera Utara itulah yang melihat bakat Nasrul dan menggandengnya menjadi salah satu penyerang tim Pekan Olahraga Nasional Sumatera Utara 1984/1985. Ketajamannya dalam merobek jala gawang lawan membuat Nasrul menyisihkan striker utama PSMS Medan kala itu, Syamsir Alamsyah. “Hanya dua orang pemain PSKB Binjai yang masuk tim PON Sumatera Utara,” kenang Nasrul dengan bangga. Ajang PON mengantarkan Nasrul menjadi pemain sepak bola profesional.

Bakat bola Nasrul itu menetes dari ayahnya, Isti Jangge. Ayahnya pernah menjadi pemain di Binjai sebelum menekuni usaha konfeksi. Salah satu kakak kandungnya, Hambrita Koto, juga bekas pemain nasional.

Seusai PON, nama Nasrul bersinar dan kemalasan untuk sekolah menghinggapinya. “Kemalasan” itu disambar oleh Arseto Solo dengan menyodorkan tawaran menjadi pemain. Pada 1985, Nasrul menjadi salah satu pilar klub milik Sigit Hardjojudanto yang bermarkas di Kadipolo itu. Sebelumnya, ia sempat dipanggil menjadi salah satu calon pemain PSSI Garuda, tapi batal.

Di klub barunya, Nasrul hanya perlu dua tahun untuk membuktikan diri sebagai penyerang andalan. Pada musim kompetisi Galatama 1987, ia merebut sepatu emas sebagai pencetak gol terbanyak dengan mengemas 16 gol. Nasrul juga ikut andil membawa Arseto sebagai juara Galatama 1993.

Dari Solo, Nasrul melanglang buana ke sejumlah klub. Setelah berpesta di Arseto, ia berlabuh di Aceh Putra semusim dan membela Semen Padang juga semusim. Akhirnya Nasrul mengakhiri petualangannya di dunia sepak bola dengan kembali ke Kadipolo, kandang Arseto. Pemerintah Sumatera Barat sebenarnya menginginkan Nasrul membela PSP, salah satu klub Perserikatan. Ia juga akan dijadikan pegawai Bank Sumbar, tapi lagi-lagi ditolak. Ia balik ke Arseto, yang kemudian menjadi klub tempatnya mengakhiri karier sebagai pemain profesional.

Namun, sepak bola meninggalkan kenangan buruk bagi Nasrul. Ia pernah menerima enam jahitan di tengah lapangan karena “diambil” Donny Lattuperisa. Di lapangan hijau pula ia pernah tidak mampu menahan amarah dan beradu jotos. “Saya menyesal sekali. Satu-satunya kartu merah yang saya terima sepanjang saya menjadi pemain,” kata Nasrul saat mengenang sebuah pertandingan di Stadion Agus Salim, Padang.

Ia pernah diiming-imingi menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia seusai tim nasional meraih medali emas SEA Games Jakarta. Kalau itu diambil, “Mungkin (sekarang) sudah jadi kolonel atau letkol. Tapi waktu itu sama sekali tidak terlintas menanggapi tawaran Pak Kardono (Ketua Umum PSSI),” kata Nasrul.

Lelaki itu memilih menapaki jalur berliku di dunia bola, melanglang ke sejumlah klub. Berkat kecerdikannya menjadi penyerang, dia pernah “terdampar” di meja pabrik Pupuk ASEAN dan PT Semen Padang. Ia menjadi karyawan di sana, tapi cuma tahan semusim. Naluri bolanya tetap memanggil-manggil dan akhirnya ia meninggalkan seragam necis dan pekerjaan enak di belakang meja.

Pemerintah Sumatera Barat sebenarnya menginginkan Nasrul membela PSP, salah satu klub Perserikatan. Ia juga akan dijadikan pegawai Bank Sumbar, tapi lagi-lagi ditolak. Ia balik ke Arseto dan itu menjadi klub tempatnya mengakhiri karier sebagai pemain profesional. “Tidak mungkin berpisah dengan bola,” ujarnya.

Pilihannya itu akhirnya mengantarkan Nasrul melatih PSBS Bangkinang. Ia rela melakoni pekerjaan barunya itu meskipun harus berpisah dengan Veria Susanti, istrinya, serta dua anaknya, Nesia Zara Verina, 16 tahun, dan Fiqky Seto Ramadhan, 15 tahun. Orang-orang yang ia cintai itu tinggal di sebuah rumah yang dibelinya saat menjadi pemain Arseto di daerah Cemani, Sukoharjo.

Nasrul menyimpan obsesi besarnya yaitu memiliki klub sepak bola profesional sendiri, sesuatu yang masih jauh di awang-awang. Tapi impian itu bukan sesuatu yang mustahil. Dulu, saat Nasrul masih kecil di Binjai, ia tak bermimpi mengenakan kostum merah-putih berlogo Garuda. “Motivasi yang paling penting. Saya jadi pemain bola karena motivasi, bukan lantaran hasil didikan sekolah sepak bola,” ujarnya.

Butuh modal besar untuk membikin klub. “Saya sekarang belum punya apa-apa,” katanya. Namun, ia tetap bertekad mewujudkan impian itu. Ia yakin bisa mewujudkan cita-citanya. Lelaki itu pernah menjadi manajer pemasaran sebuah usaha konfeksi batik. Darah saudagar orang tuanya, Isti Jangge dan Rosmani, tampaknya mengalir deras ke Nasrul. “Kalau saya punya uang banyak, obsesi saya bisa memiliki klub sendiri,” katanya.

Karir bermain :

* PSKB Binjai (1983)
* Tim PON Sumatera Utara (1984)
* Arseto Solo (1985-1993)
* Aceh Putra (1993)
* Semen Padang (1994)
* Arseto Solo (1995-1997)
* Tim nasional King's Cup (1986)
* Tim nasional SEA Games (1987)
* Tim nasional Piala Kemerdekaan (1988-1989)
* Tim nasional Pra-Piala Dunia (1990)

Karir Pelatih :

* Persibi Boyolali (2001)
* PSBS Bangkinang Pekanbaru (2002-2004)
* Persibi Boyolali (2005)
* Persip Pekalongan (2005)
* PSBS Bangkinang Pekanbaru (2006-sekarang)





3 komentar:

  1. Wah gw tau neh orang. Duet nya sama Ricky Yacobi di Arseto Solo, mantep tuh dulu.??? trus kemudian ada duet maut juga di sana Roky Putiray & Agus Yanto dari (Garuda II)

    BalasHapus
  2. Dika : Mungkin masih saudara kali yee.. he2.
    Thea : Arseto Solo dulu ngeri banget kiper nya Benny Van Breklen, Belakang ada Sudirman, Tengah ada Heriansyah,Yunus Muchtar, Iyong Lolombulan, Hery Tjong. Depan : Ricky Yacobi, Nasrul Kotto, Rocky Putiray dan Agus Yanto. Beberapa pilar timnas Garuda II juga ada di sana. Arseto juga sempat berprestasi bagus di kancah Liga Champions Asia.

    BalasHapus