Rabu, 10 Februari 2010

Perjuangan Terakhir Wiel Coerver

Timnas Pra Olimpiade 1976 akhirnya memang gagal menuju Montreal. Gagal berdiri sejajar dengan Tim Olimpide Indonesia ke Melbourne 1956 Tapi seorang pelatih bernama " Wiel Coerver" berhasil menegakkan fondasi baru dalam dunia persepakbolaan kita di saat itu.

Selama kehadiran Coerver, pergolakan dalam tubuh PSSI seolah tak pernah reda. Untuk membentuk team yang kuat ia ingin merombak sendi-sendi konven sionil ke arah modernisasi yang nampaknya tidak begitu ramah buat sementara pimpinan PSSI yang berkuasa sekarang. Baik atau buruk ia dengan jujur memperlihatkan kadarnya. Ia membentuk "Dewan Pemain" -- terdiri dari Iswadi, Risdianto, Junaedi, Oyong dan Ronny -- untuk bertindak atas nama para pemain dan cadangan dalam memperjuangkan perbaikan nasib. "Kedua kaki para main adalah periuk nasi hari ini dan jaminan mereka di hari tua", begitulah motto Coerver. Ia juga tidak sampai hati kalau anak asuhnya hanya mendapat begitu sedikit jika dibandingkan dengan bayaran yang ia peroleh. Coever selalu mengirang-ira pendapatan yang masuk dalam setiap pertandingan dan menanyakan berapa jumlah yang diterima para pemain. Sampai ada sementara Pengurus yang menuduhnya: memanjakan, merusak pemain dengan uang. Meskipun lebih bijak kalau pimpinan PSSI menjajagi ulah Coerver dulu sebelum kontrak diteken.

Tim Pre Olimpiade Indonesia dengan kegagalannya berhasil memenangkan dukungan moril masyarakat sepakbola. Tapi lebih penting dari itu adalah perjuangan mereka dalam hal perbaikan nasib, yang sangat menentukan hari esok sepakbola Nasional. Jikalau dulu orang mulai ragu menjadi pemain nasional, kini rasa bangga itu bangkit kembali. Coerver yakin angkatan muda sepakbola Indonesia akan berlomba-lomba menjadi pemain nasional. Asisten Coerver, Ilyas menyebutkan pada saat itu setiap kali menang mereka mendapat bonus Rp 70 ribu. seri 50 ribu dan kalah 25 ribu. Untuk pertandingan final mereka khusus "memaksa Bardosono (Ketua PSSI pada saat itu) meneken kontrak menang Rp 2,5 juta kalah Rp 1 juta. Perbuatan mereka nampak sewenang-wenang, meski jika diingat sebelumnya tak kurang pula mereka mengalami tindakan sewenang-wenang dari pimpinan PSSI. Untuk mengakhiri suasana"balas dendam" ini alangkah baik jika masyarakat sepakbola bersama pimpinan PSSI yang sekarang memikirkan pelembagaan dari semua pengalaman yang "positif' ini. Bahwasanya publik rela membayar untuk tontonan yang bermutu. Dan hasil pertandingan sepantasnya dikembalikan kepada para pemain dan pembinaan secara konkrit.

Coerver yang lalu pulang ke negeri Belanda karena kontraknya berakhir pad apertengahan Mei 1976. mengatakan "Semuanya tergantung pada tuan-tuan pimpinan PSSI", katanya sebagai ucapan perpisahan. "Saya merencanakan mengadakan kursus asisten pelatih dulu. Tapi nampaknya pimpinan PSSI belum siap dengan bahan-bahan yang saya minta distensil" Coerver sangat kagum dengan publik sepakbola Indonesia. "Tak pernah saya jumpai publik yang begitu solider dengan team nasionalnya, tapi juga obyektif', katanya pada masa lalu. Tapi untuk memulihkan kejayaan sepakbola Indonesia Ia membutuhkan banyak asisten pelatih. "Terlalu banyak pemain alam yang berbakat yang perlu dibina" Tapi ia pun tak kurang menyesali sikap pimpinan PSSI terhadap pelatihnya sendiri. "Mereka kurang mendapat jaminan hidup. Maka sebelum berangkat meninggalkan Jakarta, ia sempat mampir ke Ketua Umum pada saat itu, Bardosono. Konon antara lain untuk memperjuangkan bonus yang diterima pemain dapat dinikmai pula oleh asisten pelatih, pembantu umum, dokter dan masseur team. Biarlah semua pihak merasa senang, seperti halnya 120.000 penonton dengan besar hati menerima kenyataan kekalahan Tim Pra Olimpiade Indonesia. Karena apa boleh buat dalam turnamen yang baru usai itu tak ada "Juara Kembar"..

1 komentar:

  1. Ini pelatih top neh. Sayang si Bardosono, nggak ngalajutin program kerja. Klo seandainya permintan Coever di laksanakan mungkin prestasi PSSI lebih bagus lagi. Sayang emang penyakit PSSI dari jaman dulu.

    BalasHapus